Bisa saja saya membatalkan salah satu kegiatan saya di luar rumah demi menonton debat antar Capres/ Cawapres 2019 dari awal.
Tapi dari awal saya memang kurang tertarik.
Debat yang terlalu banyak peraturannya, dibatasi waktu, terlalu formal, apalagi diberi kisi-kisi dan bawa contekan, pasti kurang menarik.
Lihat juga: Jangan Bercermin di Cermin Retak oleh Balya Nur
Debat Pilpres 2019
Format debat pilkada DKI 2017 lalu malah jauh lebih menarik.
Dan BENAR saja.
Saya nonton sampai akhir debat, secara substansi hanya pengulangan saja.
Ketika ditanya soal hukum yang tajam ke bawah, tumpul ke atas dengan contoh kasus, Jokowi berkali-kali bilang, “Kalau ada kasus, ya laporkan saja pada Polisi.“
Justru persoalannya kan pada lapor polisinya itu.
Banyak sekali contoh kasus yang dilaporkan ke polisi tapi tidak ditindaklanjuti karena yang dilaporkan pro penguasa.
Masa sih Jokowi nggak tahu kasus Laiskodat yang dilaporkan oleh beberapa Parpol oposisi, nggak jelas juntrungannya.
Debat Pertama Pilpres 2019 - Hukum, Korupsi, HAM dan Terorisme
Kalau Ade Armando yang sudah entah berapa kali dilaporkan tapi belum juga tersentuh hukum, atau barangkali Jokowi memang nggak tahu? Tapi itu sebuah fakta.
Sementara kasus yang sama, misalnya editan gambar KHMA yang dipakaikan topi santa, cepat sekali diprosesnya.
Hal itu kan sudah jadi bahan perdebatan di medsos sampai bosan.
Tapi saya masih bisa menikmati panggung teaternya.
Nampak sekali KHMA demam panggung.
Itulah pentingnya melakukan simulasi secara serius, terutama soal menyiasati waktu.
KHMA katanya sebelum debat sudah dipoles.
Tapi hasilnya tidak nampak di acara debat.
Makanya tidak heran kalau dia lebih banyak menjadi pendengar yang baik, atau tukang ambil undian pertanyaan.
Sekalinya bicara, kehabisan waktu.
Misalnya, ketika bicara penanganan disabilitas.
Baru saja dia ingin mengutip contoh yang terjadi pada Nabi Muhammad SAW, waktunya habis.
Saya sih paham apa yang ingin dicontohkan.
Dia ingin memberi contoh seperti tertulis pada surah “Abasa.”
Ketika Rasulullah mengacuhkan Abdullah bin Umi Maktum yang buta, Allah menegur Nabi.
Jika misalnya diberikan waktu satu atau dua menit pun, contoh peristiwa itu tidak cukup.
Bahkan bisa disalah tafsirkan jika dibatasi waktu.
Bisa ada yang beranggapan Nabi tidak perhatian pada orang buta, lebih mementingkan pembeasar Quraisy.
Padahal waktu itu Nabi sedang berda’wah pada pembesar Quraisy, dengan asumsi, jika para pembesar Quraisy masuk Islam, tentu jalan da’wah Nabi lebih lancar.
Tapi Allah tetap memberi teguran, walaupun secara substansi Nabi tidak bersalah. Allah memberi pelajaran pada Nabi agar menghormati disabilitas.
Nah, menyiasati waktu ini menjadi bagian penting, dan memerlukan latihan. Jadi jangan sombong bilang, masa debat saja perlu latihan.
Dalam hal menyiasati waktu, Sandiaga sangat taktis. Maklum saja, beredar video saat Sandi berlatih menyiasati waktu.
Sandiaga tidak malu, bahkan bangga kalau dia benar-benar serius menghadapi debat ini dengan berlatih simulasi waktu.
Sekalinya diberikan kesempatan oleh Jokowi, KHMA menjawab pertanyaan, bagaimana menyiasati penanggulangan terorisme tapi tidak menabrak HAM.
KHMA malah bicara soal terorisme itu adalah perbuatan terkutuk dan seterusnya.
Panggung teater debat yang paling menarik adalah ketika pembawa acara minta pernyataan penutup dan saling mengapresiasi lawan debat ditutup dengan imbauan pilpres damai.
Jokowi hanya bicara singkat, tanpa mengapresiasi lawan debat dan imbauan pilpres damai.
Lihat juga: Presiden diatas Semua Golongan Lambang Jari
Waktu masih banyak tersisa, Jokowi ditawarkan, apakah akan memberi apresiasi pada lawan debat?
Dengan tegas Jokowi bilang, TIDAK!
Padahal Prabowo bisa mengambil poin penuh pada sesi penutup ini.
Tapi entah kenapa, sampai waktu berakhir, Prabowo juga tidak memgambil kesempatan emas itu untuk mengapresiasi lawan debat dan imbauan pilpres damai.
Setelah pembawa acara menegaskan kembali bahwa kedua paslon ini tidak mau saling menghargai, barulah Jokowi menyadari kesalahannya memahami apa yang diinginkan oleh pembawa acara.
Buru-buru dia bersama KHMA menghampiri Prabowo, dan Prabowo-Sandi menghampiri Jokowi, saling bersalaman, berangkulan hangat.
Tapi pembawa acara malah melarang, karena memang belum saatnya berpelukan.
Sesi penutup ini menampilkan wajah debat yang kaku pada peraturan.
Bisa jadi Jokowi dan Prabowo kurang paham dengan maksud pembawa acara yang minta saling mengapresiasi, tapi ketika kedua paslon ini saling berangkulan, mestinya pembawa acara membiarkan, kalau perlu menambahkan;
“Walaupun tidak diucapkan secara verbal tapi rangkulan ini sebagai bentuk saling menghargai kedua paslon. Tepuk tangaaaan…”
Tapi karena pembawa acara terpaku pada peraturan, hingga menimbulkan kesan, imbauan pembawa acara agar kedua paslon saling menghargai hanya imbauan formalitas saja. Begitulah.
Kalau ditanya, siapa pasangan capres yang paling unggul dalam debat pertama ini?
Pendukung Jokowi pasti bilang, Jokowi-Ma'ruf laaah…
Pendukung Prabowo bilang, Prabowo-Sandi lah…
.., dan medsos pun tambah berisik.
Kalau saya ditanya, siapa man of the match debat pertama ini? Saya akan jawab, SANDIAGA UNO.
BELAJAR PERSISI DARI BANG SANDI
Kalau saya ditanya, siapa man of the match debat pertama ini? Saya akan jawab, Sandiaga Uno.
Dia pandai menyiasati waktu, bahkan untuk jatah waktu yang hanya beberapa detik saja dia bisa mengukurnya dengan sangat tepat dengan susunan kata yang pas mantab.
Padahal dia tidak punya latar belakang tukang kayu atau tukang mebel yang akrab dengan persisi.
Latihan serius. Itu kuncinya.
Dia tidak sombong dengan mengatakan; “Buat apa latihan? Masa debat saja pakai latihan…”
Bukan hanya itu, dia tidak malu mengumumkan cara latihannya.
Terbukti, bahwa Sandiaga tak peduli pada pencitraan.
Debat yang dibatasi oleh waktu bukan hanya membutuhkan penguasaan materi, tapi juga akurasi waktu.
Memilih kalimat yang ringkas, padat, tepat sasaran, dan tentu saja mudah dipahami pemirsa.
Dan itu membutuhkan latihan serius.
Christano Ronaldo atau Messi yang jadi langganan pemain sepak bola terbaik dunia juga tetap latihan setiap menghadapi pertandingan untuk menyesuaikan strategi pelatih menghadapi lawan.
Walaupun sudah berkali-kali menghadapi lawan yang sama.
Jadi, menganggap enteng persoalan walaupun menguasai materi, akan terbaca saat megambil kebijakan.
Misalnya, hari ini mengambil kebijakan menaikan BBM, dalam hitungan jam lalu dibatalkan.
Karena itu tadi, KESOMBONGAN karena merasa tahu segalanya, mengabaikan persisi.
Insya Allah Sandiaga Uno nanti akan menjadi Cawapres yang punya perhitungan matang. Dia memang bukan Cawapres biasa.
Prabowo memang dikenal punya visi dengan persisi akurat.
Terbukti, ketika dia menentukan Anies Baswedan menjadi Cagub.
Walaupun orang-orang dekatnya banyak yang tidak setuju, tapi dia berhasil meyakinkan kalau Anies adalah pilihan yang tepat.
Dan sekarang dia memilih Sandi, orang satu partai sebagai Cawapres, dan Sandi membuktikan, pilihan Prabowo memang tepat.
Dan juga telah dibuktikan dengan meyakinkan Megawati, bahwa Jokowi adalah sosok yang tepat untuk jadi Cagub DKI medampingi Ahok.
Begitu juga ketika mengusung Ridwan Kamil menjadi Walikota Bandung.
Kelemahan Prabowo adalah, jika dia sudah semangat bicara, terkadang suka terpeleset, dan Sandiaga menjadi penyempurna kelemahan ini.
Mestinya Capres Saling Timpa Aja (Fahri Hamzah)
Kecewa saya sama panggung Debat Pertama Pilpres 2019 malam ini....
KPU tidak saja memberikan kisi-kisi, tapi membolehkan adanya contekan sehingga wajah kandidat sering melihat ke bawah dan tidak menyimak.
Dan pada akhirnya jawabannya gak nyambung.
Ayolah KPU ubah ini, masih ada 4 kali debat lagi.
Kita harus membuat protes keras kepada KPU yang telah melakukan drama seperti itu.
Maka calon presiden bisa bersembunyi di balik pertanyaan dan jawaban serta kisi-kisi yang telah dihafal.
KPU menipu kita!
Apa tidak malu melihat debat yang mirip cerdas cermat anak SMP dan SMA?
Coba lihat deh ... kandidat tidak menyimak pertanyaan dan sangkalan...karena sibuk membaca kerpekan...lalu waktu menjawab tidak nyambung.
Tapi karena jawaban capres, jadi kita anggap ok-ok aja.
Calon presiden tidak perlu dibantu atau dilindungi dalam debat.
Biarkan mereka ditelanjangi oleh kata-kata mereka sendiri.
Mereka jangan lagi membaca tulisan orang.
Biar keluar apa yang sebenarnya ada dalam kepala, dalam hati dan dalam impian mereka.
Jangan dibela!
Plis stop sandiwara ini.
Rakyat jangan dibodohi.
Kosa kata yg keluar dari moderator ini kayak anak-anak..
”Mohon capres mengucapkan pujian kepada calon lain ya dan menyampaikan pesan damai...”
Maksudnya apa sih? Memang rakyat rusuh apa? Di bawah santai aja kok..
Ada 4 kali lagi debat, permohonan saya:
- Kalau takut ramai gak usah bawa timses. Di studio TV aja.
- Gak usah kasi waktu 2-3 menit. Biat mereka olah narasi sendiri.
- Stop bawa catatan baik kertas maupun tablet.
- Kasih waktu saling potong antar kandidat.
Para pejabat dan pimpinan lembaga negara khususnya yudikatif gak usah diajak nonton.
Ngapain ketua MA, ketua MK dan ketua KY duduk di antara politisi?
Juga banyak sekali pimpinan lembaga pemerintahan dan menteri?
Buat apa?
Belum lagi pembisik dan tukang antar bocoran wara-wiri ramai amat kayak coach pertandingan tinju kelas layang.
Biarkan aja dia sendiri saling berhadapan.
Lihat: Kegagalan Pidato Kebangsaan Prabowo oleh Fahri Hamzah
Biar kelihatan siapa yang mandiri dan siapa yang tidak mandiri.
Biar saling timpa aja!
Ini cuman adu mulut kok. Takut amat.
Sekali lagi, ini kepentingan rakyat. Bukan KPU atau kandidat.
Rakyat perlu tahu siapa yang akan mimpin mereka. Jangan main-main. Sekian!
Twitter @fahrihamzah 17/1/19
Tidak ada komentar:
Posting Komentar