Sistem Hukum di Indonesia mengenal adanya asas Ne Bis In Idem, yakni salah satu asas hukum yang melarang sebuah tindakan dilakukan untuk kedua kalinya dalam perkara yang sama. Nebis In Idem juga lazim disebut dengan execeptio rei judicatae atau exceptie van gewijsde zaak.
Dalam Sistem Hukum di Indonesia, yakni menyangkut hukum pidana, menurut hukumpedia adalah asas hukum yang melarang terdakwa diadili lebih dari satu kali atas satu perbuatan pidana, apabila telah ada keputusan hakim yang menghukum ataupun membebaskannya dari pebuatan pidana tersebut. Asas ne bis in idem ini berlaku secara umum untuk semua ranah hukum.
Inti dari asas ne bis in idem adalah bermaksud untuk melindungi individu atau seseorang yang telah mendapatkan hukuman atas suatu kejahatan yang dilakukannya dari penghukuman yang lebih jauh dan menjadi sasaran penghukuman berulang-ulang atas satu perbuatan yang sama tersebut.
Dan juga untuk melindungi dari adanya kriminalisasi terhadap seseorang yang telah dibebaskan dari suatu tuntutan pidana berdasarkan putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap dikarenakan suatu dan lain hal tidak seorangpun yang boleh dituntut dua kali untuk perbuatan yang sama.
Ne Bis In Idem dalam Perkara Pidana, Perdata dan Uji Materi UU
Lebih jauh pengertian ne bis in idem ini dipahami sebagai tidak adanya pengadilan lainnya atas seseorang terhadap perkara yang sama baik berdasarkan perkaranya/ peristiwa (tempus dan locus delictie), kesamaan pelaku, yang telah diadili sebelumnya dan mempunyai kekuatan hukum yang tetap.
Hak individu untuk tidak dituntut dua kali atas suatu perbuatan yang sama ini dimuat dalam Pasal 18 ayat 5 UU No. 39/ 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Dalam statute Roma, yang tercantum pada Pasal 20 Statuta, yang menyatakan: ‘Tidak seorang pun dapat diadili oleh Mahkamah atas perbuatan yang telah dinyatakan bersalah atau dibebaskan oleh Mahkamah’, jadi asas ne bis in idem ini diakui dalam statute Roma.
Ketentuan hukum pidana di Indonesia mengenai Asas ne bis in idem ini diatur dalam Pasal 76 ayat (1),(2) KUHP, Bab VIII, tentang gugurnya hak menuntut hukuman dan gugurnya hukuman.
Ne Bis In Idem dalam hukum Pidana Indonesia
Berlakunya dasar ne bis in idem itu digantungkan kepada hal, bahwa terhadap seseorang itu juga mengenai peristiwa yang tertentu telah diambil keputusan oleh hakim dengan vonis yang tidak dapat diubah lagi (putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap).
Putusan mana berisi tentang:
a. Penjatuhan Hukuman: Hakim memutuskan bahwa terdakwa secara sah dan meyakinkan melakukan suatu tindak pidana yang dituduhkan kepadanya.
b. Pembebasan dari segala tuntutan hukuman: Peristiwa yang dituduhkan kepada terdakwa terbukti bersalah, akan tetapi peristiwa atau perbuatan tersebut bukanlah merupakan suatu tindak pidana.
c. Putusan Bebas: Bahwa kesalahan terdakwa atas peristiwa yang dituduhkan kepadanya tidak cukup bukti, maka hakim memutusnya bebas.
Landasan filosofis dari lahirnya ketentuan hukum pidana asas Ne bis in Idem adalah:
1. Adanya Jaminan Kepastian Hukum seseorang dalam melakukan suatu tindak pidana (Pasal 76 KUHP dan Surat Edaran MARI No. 03 Tahun 2002 tentang penanganan perkara mengenai ne bis in idem)
2. Putusan yang dapat dikategorikan sebagai Ne bis in Idem adalah Putusan Hakim dalam perkara pidana yang berbentuk:
- Putusan Bebas (Vrijspraak)
- Putusan Pelepasan/ Pembebasan dari Segala Tuntutan Hukum (onstlag van alle rechtsvolging)
- Putusan Pemidanaan (Veroordeling)
Jika di Amerika Serikat mengenal adanya asas Double Jeopardy, yang artinya kurang lebih sama dengan asas ne bis in idem, namun terdapat perbedaan yang pokok dari asas yang dianut oleh hukum pidana di Amerika dengan istilah Double Jeopardy nya dan hukum pidana Indonesia yang menganut istilah ne bis in idem.
Mantan Jaksa Agung Basrief Arief mengatakan bahwa perbedaan double jeopardy dengan ne bis in idem adalah bahwa asas ne bis in idem sebagaimana dimaksud Pasal 76 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) yakni seseorang tidak boleh dituntut dua kali atas perbuatan yang sama, yang sebelumnya sudah diputus oleh hakim.
Sedangkan, Double Jeopardy adalah suatu prosedur dalam pembelaan bagi terdakwa bahwa ia tak dapat diadili lagi berdasarkan dakwaan yang sama berdasarkan suatu putusan yang telah dijatuhkan oleh hakim.
Contoh kasus:
"Jika seorang terpidana pembunuhan yang ternyata sebelum pidana dijatuhkan kepadanya, ia sudah membunuh orang lain, maka ia dapat didakwa dengan pembunuhan atas pembunuhan sebelumnya.
Hal ini karena pada Pasal 76 ayat (1) KUHP yang mengatur mengenai ne bis in idem mengatakan bahwa "orang tidak boleh dituntut sekali lagi atas perbuatan atau peristiwa yang baginya telah diputuskan oleh Hakim".
Yang berarti bahwa walaupun perbuatan yang dilakukan oleh si terpidana adalah sama-sama pembunuhan, akan tetapi karena pembunuhan yang dilakukan oleh terdakwa tersebut merupakan 2 (dua) peristiwa yang berbeda, maka di terpidana dapat dituntut atas peristiwa pembunuhan yang lainnya."
Menurut Dedet Hardiansyah dalam artikelnya yang berjudul Ne bis in idem, menjelaskan bahwa suatu peristiwa atau perbuatan harus dilihat dari segi waktu (tempus delicti) dan tempat (locus delicti).
Dedet Hardiansyah juga menyatakan dalam Pasal 143 ayat (2) huruf b Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) disebutkan bahwa Penuntut Umum dalam membuat surat dakwaaannya menguraikan secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu, karena itu masalah tempus delicti ini menjadi penting dalam sebuah peristiwa pidana.
Dalam Pasal 143 ayat (3) KUHAP disebutkan bahwa Surat Dakwaan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 143 ayat (2) huruf b tersebut diatas maka batal demi hukum.
R. Soesilo dalam bukunya yang berjudul Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal memberikan contoh nebis in idem sebagai berikut:
Contoh kasus:
Misalnya ada seorang dituduh:
"Telah melakukan pencurian pada hari Senin tanggal 8 Desember 1958 dalam rumah A di Jakarta, akan tetapi tertuduh dapat membuktikan dengan pasti bahwa ia selama hari Senin tanggal 8 Desember 1958 tersebut telah berada di Surabaya.
Dalam hal ini merupakan kewajiban hakim untuk memutuskan pembebasan tertuduh dari perbuatan yang dituduhkan kepadanya itu.
Walaupun dalam sidang itu juga ternyata, bahwa pencurian yang dimaksudkan itu benar-benar telah dilakukan di tempat yang ditentukan itu juga dan benar-benar dilakukan oleh tertuduh itu juga, akan tetapi tertuduh melakukannya pencurian itu baru pada tanggal 15 Desember 1958.
Jadi meskipun tertuduh salah telah melakukan pencurian pada tanggal 15 Desember 1958, akan tetapi ia tidak boleh disalahkan terhadap pencurian yang terjadi pada hari Senin tanggal 8 Desember 1958 dan dengan alasan itulah maka ia harus dibebaskan.
Memang tertuduh kemudian dapat dituntut lagi karena telah melakukan pencurian yang terjadi pada tanggal 15 Desember 1958 itu dan karena perbuataan inilah ia akan dapat dihukum. Karena tentang perbuatan pencurian tanggal 15 Desember 1958 yang dilakukan oleh tertuduh ini sebenarnya belum diputus.”
Ne Bis In Idem dalam Hukum Perdata Indonesia
Selain asas ne bis in idem dalam hukum pidana di Indonesia, dalam ranah hukum perdata, asas ne bis in idem ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1917 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (”KUHPerdata”).
Apabila putusan yang dijatuhkan pengadilan bersifat positif yakni menolak atau mengabulkan, kemudian putusan tersebut memperoleh kekuatan hukum tetap, maka dalam putusan melekat ne bis in idem. Oleh karena itu, terhadap kasus dan pihak yang sama, tidak boleh diajukan untuk kedua kalinya (buku “Hukum Acara Perdata”, M. Yahya Harahap, S.H., hal. 42)
Asas nebis in idem dalam perkara perdata ini diatur dalam pasal 1917 KUHPerdata, yang mana secara hukum, suatu gugatan dapat dikatakan ne bis in idem apabila:
- Apa yang digugat/ diperkarakan sudah pernah diperkarakan.
- Dan telah ada putusan yang telah berkekuatan hukum tetap dan bersifat positip seperti menolak gugatan atau mengabulkan, sehingga putusan tersebut sudah litis finiri opportet.
- Kalau putusannya masih bersifat negatif, tidak mengakibatkan nebis in idem. Hal ini dapat dilihat dalam putusan Mahkamah Agung tanggal 27 Juni 1979 dalam putusan kasasi no. 878 k/ Sip/ 1977 yang menyatakan, “antara perkara ini dengan perkara yang diputus oleh Pengadilan Tinggi tidak terjadi nebis in idem, sebab putusan Pengadilan Tinggi menyatakan gugatan tidak dapat diterima oleh karena ada pihak yang tidak diikutsertakan sehingga masih terbuka kemungkinan untuk menggugat lagi”.
- Objek, Subjek dan Materi pokok yang sama
Jadi, suatu gugatan dapat dinyatakan ne bis in idem dalam hal telah ada putusan berkekuatan hukum tetap (BHT) sebelumnya yang memutus perkara yang sama, dengan pihak yang sama, pada objek, subjek dan pokok materi yang sama pula.
Ne Bis In Idem dalam Pengujian Undang-undang di Mahkamah Konstitusi
Terkait dengan pengujian undang-undang ke Mahkamah Konstitusi, dapat juga kita temui asas ne bis in idem ini yakni dalam Pasal 60 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 2011 yaitu Perubahan atas UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yaitu terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/ atau bagian dalam undang-undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali.
Dasar hukum:
- Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek, Staatsblad 1847 No. 23);
- Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht, Staatsblad 1915 No 73);
- Undang-Undang No. 8 Tahun 2011 yaitu Perubahan atas Undang-Undang No 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
- Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2002 tentang Penanganan Perkara yang Berkaitan Dengan Asas Nebis In Idem
Tidak ada komentar:
Posting Komentar