Maraknya laporan kasus pencemaran nama baik akhir-akhir ini, menjadi catatan tersendiri bagi aparat penegak hukum. Hal ini mengindikasikan bahwa, pertama masyarakat sudah mulai melek hukum.
Artinya masyarakat tidak lagi melakukan suatu tindakan main hakim sendiri, atau membalas sebuah pencemaran nama baik dengan tindakan yang sama, namun dengan melaporkannya, dan membiarkan hukum berjalan dengan semestinya.
Kedua, dampak dari kemajuan teknologi dan informasi dan pesatnya perkembangan media sosial yang kini telah menjadi jati diri kedua para penggunanya, yang mana para penggunanya masih kurang bijak dalam bermedia sosial.
Medsos memiliki fitur-fitur yang dapat memberikan kemudahan dalam berkomunikasi dan bertukar informasi, membuat media sosial menjadi tempat menyebarkan berbagai macam jenis informasi.
Pencemaran Nama Baik dalam KUHP
Update status, sharing tautan portal berita online, messenger, hingga komunikasi secara audio/ visual bisa dilakukan dengan media sosial.
Sebut saja facebook, twitter, instagram, line, whatsapp, linkdin, pinterest, dan lain sebagainya, telah begitu akrab dan lekat dihati para penggunanya.
Indonesia yang merupakan salah satu negara pengguna media sosial terbesar didunia, yakni peringkat empat terbesar setalah US, India, dan Brazil sebagai pengguna media sosial facebook, dan semakin bertambah besar setiap harinya.
Mudahnya berbagi informasi dan berinteraksi dengan sesama pengguna media sosial membuat medsos menjadi lahan yang menjanjikan bagi para pelaku kejahatan, seperti penipuan, pemalsuan, penayangan konten pornografi, dan sebagainya.
Dan akhir-akhir ini, para pengguna medsos mulai saring menyerang, saling mengejek, hingga membuat banyak pengaduan dan pelaporan atas kasus pencemaran nama baik melalui media sosial.
Karena banyaknya laporan kasus pencemaran nama baik yang dilakukan melalui media-media sosial, membuat banyak yang bertanya-tanya perbuatan-perbuatan yang bagaimanakah yang termasuk pencemaran nama baik?
Serta, jika seandainya pelapor pencemaran nama baik itu dapatkah dituntut balik jika laporannya tidak terbukti? Artinya dengan melaporkan pencemaran nama baik, dan ternyata laporan itu tidak terbukti berarti telah melakukan pencemaran nama baik juga terhadap terlapor.
Karena itu, ada baiknya kita menambah pengetahuan kita tentang hukum, khususnya mengenai kasus pidana pencemaran nama baik, yang dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dikenal dengan penghinaan.
Serta hubungannya dengan pencemaran nama baik melalui media sosial dengan UU ITE, yakni UU ITE Nomor 19 tahun 2016.
R Soesilo dalam buku serta komentar-komentarnya lengkap pasal demi pasal pada hal 225 dalam buku yang berjudul Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), dalam penjelasan Pasal 310 KUHP, menerangkan bahwa, “menghina” adalah “menyerang kehormatan dan nama baik seseorang”.
Yang diserang ini biasanya merasa “malu”, “kehormatan” yang diserang di sini hanya mengenai kehormatan tentang “nama baik”.
Bukan “kehormatan” dalam lingkup seksualitas, atau kehormatan yang dapat dicemarkan karena tersinggung anggota kemaluannya dalam lingkungan nafsu birahi.
Prinsipnya, pencemaran nama baik ini diatur dalam KUHP, Bab XVI tentang Penghinaan. Yang termuat dalam Pasal 310 sampai dengan pasal 321 KUHP.
Dari penjelasan R. Soesilo dalam Pasal 310 KUHP tersebut, dapat dilihat bahwa KUHP membagi 6 macam penghinaan, yakni:
1. Penistaan dalam Pasal 310 ayat (1) KUHP
Menurut R. Soesilo, agar dapat dihukum menurut pasal ini, maka penghinaan itu harus dilakukan dengan cara “menuduh seseorang telah melakukan perbuatan tertentu” dengan maksud agar tuduhan itu tersiar (diketahui oleh orang banyak).
Perbuatan yang dituduhkan itu tidak perlu harus suatu perbuatan pidana seperti mencuri, menipu, dan sebagainya, namun perbuatan biasa saja sudah cukup, akan tetapi sudah tentu merupakan suatu perbuatan yang memalukan.
2. Penistaan dengan surat dalam Pasal 310 ayat (2) KUHP
Menurut R. Soesilo, apabila tuduhan tersebut dilakukan dengan tulisan atau surat, atau gambar, maka kejahatan itu dinamakan “menista dengan surat”.
Jadi seseorang dapat dituntut menurut pasal ini jika tuduhan atau kata-kata hinaan dilakukan dengan surat atau gambar.
Contohnya: Kasus Fadli Zon melaporkan Ananda Sukarlan atas foto dan tulisan yang diunggah Ananda Sukarlan bahwa Fadli Zon dan Prabowo sedang bersantap dengan penggawa MCA (MCA menurut versi polisi).
3. Fitnah dalam Pasal 311 KUHP
Menurut R. Soesilo perbuatan dalam Pasal 310 ayat (1) dan ayat (2) KUHP tidak masuk menista atau menista dengan tulisan (tidak dapat dihukum), apabila tuduhan itu dilakukan untuk membela kepentingan umum atau terpaksa untuk membela diri.
Dalam hal ini hakim barulah akan mengadakan pemeriksaan apakah betul-betul penghinaan itu telah dilakukan oleh terdakwa karena terdorong membela kepentingan umum atau membela diri, jikalau terdakwa meminta untuk diperiksa (Pasal 312 KUHP).
Apabila soal pembelaan itu tidak dapat dianggap oleh hakim, sedangkan dalam pemeriksaan itu ternyata, bahwa apa yang dituduhkan oleh terdakwa itu tidak benar, maka terdakwa tidak disalahkan menista lagi, akan tetapi dikenakan Pasal 311 KUHP yakni memfitnah.
Jadi, yang dimaksud dengan memfitnah dalam pasal ini adalah kejahatan menista atau menista dengan tulisan dalam hal ketika ia diizinkan untuk membuktikan bahwa tuduhannya itu untuk membela kepentingan umum atau membela diri, ia tidak dapat membuktikannya dan tuduhannya itu tidak benar.
4. Penghinaan ringan dalam Pasal 315 KUHP
Penghinaan seperti ini dilakukan di tempat umum yang berupa kata-kata makian yang sifatnya menghina.
R Soesilo, mengatakan bahwa jika penghinaan itu dilakukan dengan jalan lain selain “menuduh suatu perbuatan”, misalnya dengan mengatakan "anjing", "babi" "sundel", "bajingan" dan lain sebagainya, masuk dalam Pasal 315 KUHP yang dinamakan "Penghinaan ringan".
Masih menurut R. Soesilo, penghinaan yang dilakukan dengan perbuatan, seperti meludahi muka, memegang kepala orang Indonesia, mendorong, melepas peci atau ikat kepala orang Indonesia, juga merupakan penghinaan ringan.
Demikian pula suatu sodokan, dorongan, tempelengan, dorongan yang sebenarnya merupakan penganiayaan, akan tetapi bila dilakukan tidak seberapa keras, dapat pula merupakan penghinaan.
5. Pengaduan palsu atau pengaduan fitnah dalam Pasal 317 KUHP
Dalam buku yang berjudul Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan penjelasannya pada hal 337 dari R. Sugandhi, S.H. menguraikan pasal tersebut, yakni yang diancam hukuman dalam pasal ini adalah orang yang dengan sengaja:
- Memasukkan surat pengaduan yang palsu tentang seseorang kepada pembesar negeri;
- Menyuruh menuliskan surat pengaduan yang palsu tentang seseorang kepada pembesar negeri
6. Perbuatan fitnah dalam Pasal 318 KUHP
Masih menurut R. Sugandhi, S.H., terkait Pasal 318 KUHP, yakni yang diancam hukuman dalam pasal ini ialah orang yang dengan sengaja melakukan suatu perbuatan yang menyebabkan orang lain secara tidak benar terlibat dalam suatu tindak pidana, misalnya:
"dengan diam-diam menaruhkan sesuatu barang asal dari kejahatan di dalam rumah orang lain, dengan maksud agar orang itu dituduh melakukan kejahatan"
Pencemaran Nama Baik dalam UU ITE No 19 Th. 2016
Dalam penjelasan umum UU ITE No 19 tahun 2016 (Undang undang Informasi dan Transaksi Elektronik) menyatakan bahwa:
"kemerdekaan menyatakan pikiran dan kebebasan berpendapat serta hak memperoleh informasi melalui penggunaan dan pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi ditujukan untuk memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa serta memberikan rasa aman, keadilan, dan kepastian hukum bagi pengguna dan Penyelenggara Sistem Elektronik."
Rasa aman disini bagi penggunan teknologi dan informasi dapat berupa perlindungan hukum dari segala gangguan tindak pidana, baik secara verbal, visual maupun yang menyebabkan terjadi kontak fisik.
Akan tetapi, akan luasnya wilayah privat pengguna jejaring media sosial dengan standar pencegahan yang sangat minim memberikan fakta bahwa tidaklah mudah untuk menghalau dan mencegah terjadinya berbagai tindak pidana di media sosial.
UU ITE No 19 tahun 2016 telah melakukan perubahan terutama pada pasal 45 dengan padanya penambahan pasal 45 A dan pasal 45 B yang merupakan penambahan 8 pasal ketentuan pidana didalam UU ITE tahun 2008 yang kesemuanya berfungsi untuk menjerat para pelaku tindak pidana yang berkaitan dengan kejahatan Teknologi Informasi (Cyber Crime).
Salah satu diantaranya adalah Pasal 45 ayat (3) UU ITE No 19 tahun 2016 yang berbunyi:
"Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/ atau mentransmisikan dan/ atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/ atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/ atau pencemaran nama baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah)".
Perubahan elemen dasar ketentuan Pasal 45 ayat (1) UU ITE Nomor 11 tahun 2008 menjadi Pasal 45 ayat (3) UU ITE Nomor 19 tahun 2016 yakni terkait penghinaan/ pencemaran nama baik adalah mengenai lamanya pemidanaan.
Yang sebelumnya pada pasal 45 ayat (1) UU ITE Nomor 11 tahun 2008 berupa pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun berkurang menjadi 4 (empat) tahun, dan denda yang semula 1 miliar menjadi 750 juta.
Dampak dari berkurangnya pidana penjara dalam UU ITE nomor 19 tahun 2016 tersebut adalah tersangka/ terdakwa tidak dapat ditahan oleh penyidik, penuntut umum maupun oleh hakim. Karena seorang tersangka/ terdakwa dapat ditahan jika ancaman pidana terhadap tindak kejahatan yang dilakukannya lebih dari 5 (lima) tahun.
Selain tentang ketentuan Pasal 45 ayat (1) UU ITE Nomor 11 tahun 2008, terdapat pula perubahan dalam penjelasan ketentuan Pasal 27 UU ITE Nomor 11 tahun 2008 yang sebelumnya tertulis “jelas” kemudian di dalam penjelasan Pasal 27 UU ITE tahun 2016 menjadi:
“Ketentuan pada ayat ini mengacu pada ketentuan pencemaran nama baik dan/ atau fitnah yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)”
Dengan demikian, hal ini semakin memperjelas:
- Makna pencemaran nama baik dan/ atau fitnah sebagaimana diatur dalam KUHP
- Merubah sifat delik.
Penghinaan dalam KUHP (Kitab Undang undang Hukum Pidana) diatur dalam Bab XVI yang di dalamnya terdapat rumpun pencemaran nama baik.
Dalam UU ITE Nomor 11 tahun 2008, penghinaan atau pencemaran nama baik merupakan delik biasa sehingga dapat diproses secara hukum, sekalipun tidak adanya pengaduan (laporan) dari korban.
Namun sebagaimana penjelasan pasal 27 UU ITE Nomor 19 tahun 2016 yang mengacu pada KUHP maka delik tersebut berubah menjadi delik aduan (klacht delic), yang mengharuskan korban membuat pengaduan (laporan) kepada pihak yang berwajib.
Muatan norma penjelasan Pasal 27 UU ITE Nomor 19 tahun 2016 ini secara tidak langsung mengadopsi pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/ PUU-VI/ 2008 Jo Putusan MK Nomor 2/ PUU-VII/ 2009.
Yakni disebutkan bahwa keberlakuan dan tafsir atas Pasal 27 ayat (3) UU ITE tidak dapat dipisahkan dari norma hukum pokok dalam Pasal 310 dan pasal 311 KUHP sebagai genus delict yang mensyaratkan adanya pengaduan (klacht) untuk dapat dituntut, harus juga diperlakukan terhadap perbuatan yang dilarang dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE, sehingga Pasal a quo juga harus ditafsirkan sebagai delik yang mensyaratkan pengaduan (klacht) untuk dapat dituntut di depan Pengadilan.
Kalimat Kutipan Bukan Merupakan Pencemaran Nama Baik
Hal ini dapat dilihat dari putusan Kasasi Mahkamah Agung Nomor 955 K/Pid.Sus/2015 yang menolak permohonan kasasi penuntut umum, terhadap perkara tindak pidana yang dilakukan oleh anggota DPRD yang mengunggah status di facebooknya, bahwa telah terjadi penyimpangan dana...dikota...sesuai laporan hasil pemeriksaan BPK.
Yang dalam pertimbangan hukum majelis hakim tingkat kasasi bahwa "kata-kata yang diucapkan terdakwa tersebut bukan merupakan kata-kata karangan terdakwa sendiri, melainkan kutipan dari statement Resume Lembaga Negara (BPK) sesuai hasil laporan hasil pemeriksaan BPK, kata-kata tersebut tidak ditujukan kepada pihak tertentu, serta tidak dengan makna menyiarkan kabar bohong/ fitnah."
Sehingga berlaku putusan pengadilan tingkat pertama yang membebaskan terdakwa dari semua dakwaan.
Hal ini bisa dianggap sebagai pengukuhan terhadap kebebasan pengguna media sosial, sepanjang apa yang ditulis dan diunggahnya berdasarkan sumber yang dapat dipertanggungjawabkan menurut hukum namun tidak ditujukan terhadap pihak tertentu.
Akan tetapi, perkara ini akan memiliki sudut pandang yang berbeda, jika saja terdakwa menyebutkan nama/ pejabat tertentu yang belum diproses hukum oleh aparat penegak hukum/ penyidik.
Pencemaran Nama Baik bukan Kritik Sosial
Hal ini mengacu pada putusan Kasasi Mahkamah Agung Nomor 364 K/ Pid.Sus/ 2015 yang menolak permohonan kasasi terdakwa. Yang mana terdakwa telah dinyatakan bersalah melakukan penghinaan dan/ atau pencemaran nama baik melalui informasi teknologi melalui akun facebooknya, terdakwa mengunggah status difacebook dan membagikan informasi tersebut digrup grup facebook, sehingga penyebaran informasinya semakin cepat dan meluas oleh majelis hakim tingkat pertama.
Majelis hakim tingkat kasasi menyatakan dalam pertimbangan hukumnya bahwa perbuatan terdakwa yang membuat tulisan di situs jejaring sosial facebook tidak dapat lagi dinilai sebagai bentuk kontrol sosial atau kritik membangun terhadap lingkungan maupun aparat penyelenggara pemerintahan.
Sebab tulisan terdakwa sudah mengandung penghinaan dan pencemaran nama baik terhadap saksi pelapor.
Dari kasus ini, melalui pertimbangan majelis hakim tingkat kasasi ini, memastikan tentang batasan-batasan kebebasan pengguna media sosial oleh seseorang terhadap hak-hak objek yang menjadi isi muatannya sehingga perlu dipilah muatannya maupun niat jahat/ mens rea.
Namun demikian, ada juga putusan pengadilan yang membenarkan kritik sosial untuk kepentingan umum, namun dengan kriteria-kriteria sebagai berikut:
- Kapasitas terdakwa berkaitan dengan objek yang disebutkan dalam unggahannya
- Terdakwa dan korban tidak saling mengenal sehingga tidak terdapat konflik pribadi
- Perbuatan terdakwa dilakukan semata-mata adalah sebagai bentuk protes.
Selanjutnya dari kriteria-kriteria tersebut, maka terdakwa dibebaskan dari dakwaan UU ITE, namun hal tersebut belum dapat dipedomani karena putusan dimaksud belum berkekuatan hukum tetap.
Pencemaran nama baik melalui media-media sosial, seperti facebook, twitter dan sebagainya itu mestinya tidak terjadi, jika saja para pengguna media sosial lebih bijak dalam mengunggah status, sehingga dapat memberikan rasa aman bagi semua pihak.
Pencemaran nama baik melalui medsos memiliki karakter yang mudah dilakukan, mudah tersebar dan mudah diketahui khalayak ramai, serta dapat dilakukan oleh semua pengguna, yang memiliki dampak langsung berupa terbentuknya opini publik dan lain sebagainya.
Terhadap pertanyaan yang sering menjadi pertanyaan yakni mengenai apakah seseorang dapat dituntut balik, jika laporan pencemaran nama baiknya terhadap seseorang tidak terbukti?
Dari penjelasan mengenai pencemaran nama baik dalam KUHP dan UU ITE Nomor 19 tahun 2016 tersebut diatas, maka dapat diasumsikan orang yang melaporkan seseorang dengan tuduhan pencemaran nama baik, dan setelah diperiksa ternyata tidak terbukti, untuk itu atas laporan tersebut ia merasa nama baiknya tercemarkan atau terhina, maka ia dapat menuntut balik orang yang melaporkan pencemaran nama baik tersebut, jika orang tersebut mengetahui dengan pasti bahwa apa yang dia adukan itu tidak benar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar