Jumat, 12 Mei 2017

Aspek Putusan Pengadilan - Keadilan Prosedural dan Keadilan Substantif

Pada dasarnya putusan pengadilan mengandung dua aspek yaitu prosedural justice dan substantive justice (Mudzakkir, Eksaminasi Publik Terhadap Putusan Pengadilan: Beberapa Pokok Pikiran dan Prospeknya ke Depan, dalam Susanti Adi Nugroho, DKK, Eksaminasi Publik: Partisipasi Masyarakat Mengawasi Peradilan, ICW, halaman 94).

Keadilan Prosedural adalah keadilan yang didasarkan pada ketentuan-ketentuan yang dirumuskan dari peraturan hukum formal, seperti mengenai tenggat waktu maupun syarat-syarat beracara di pengadilan lainnya.

Keadilan Substantif adalah keadilan yang didasarkan pada nilai-nilai yang lahir dari sumber-sumber hukum yang responsif sesuai hati nurani (Bambang Sutiyoso, Reformasi Keadilan dan Penegakan Hukum di Indonesia, UII Press, Yogyakarta, 2010 halaman 9).

 Pada dasarnya putusan pengadilan mengandung dua aspek yaitu  Aspek Putusan Pengadilan - Keadilan Prosedural dan Keadilan Substantif

Pada aspek prosedural justice (dalam perkara pidana) berkaitan dengan kebijakan pemerintah di bidang penegakan hukum.

Pada bagian ini merupakan awal mula proses pengambilan putusan suatu perkara diproses dan diajukan ke pengadilan atau tidak.

Berbeda dalam perkara pidana, dalam perkara perdata masalah prosedural justice ini berkaitan dengan keputusan seseorang yang merasa dirugikan disebabkan adanya dugaan perbuatan melawan hukum orang lain dan kemudian mengajukan keberatan (gugatan) kepada yang bersangkutan ke pengadilan.

Aspek Putusan Pengadilan


Putusan untuk menggugat seseorang atau lembaga tidak ada hubungannya dengan kebijakan pemerintah, melainkan ditentukan oleh hubungan yang tidak harmonis antara penggugat dan tergugat. 

Hukum acara dan hukum pembuktian bersifat objektif dengan parameter aturan hukum acara dan hukum pembuktian yang konkrit dengan standart yang tegas (terukur).

Proses pembuktian biasanya memerlukan bantuan atau dapat melibatkan ilmu pengetahuan yang objektif. Hasil proses pembuktian dapat diuji secara ilmiah (objektif) oleh siapa saja.

Sungguhpun demikian, ada aspek subjektif dari konsep prosedural justice, yakni semua pihak yang terlibat dalam proses pengambilan putusan dapat menafsirkan hasil pembuktian dari ilmu pengetahuan yang tersebut karena berbeda perspektif.

Substansive justice tidak memiliki ukuran yang seobjektif prosedural justice.

Suatu diktum atau pemidanaan adalah suatu kesimpulan (conclusion) dari kegiatan penafsiran terhadap kaedah hukum (in abstracto) yang dilakukan oleh hakim terhadap fakta-fakta hukum yang telah diuji di pengadilan (in concretto).

Di samping itu, putusan pengadilan juga dipengaruhi secara langsung atau tidak langsung pandangan pribadi hakim mengenai aspek-aspek kehidupan yang terkait dengan materi perkara yang sedang diputuskan sehingga menyebabkan terjadinya disparitas dalam pemidanaan dan juga penilaian terhadap kesalahan pelanggar hukum (yakni penilaian terhadap sikap batin dan hubungan antara sikap batin dengan perbuatan yang menyebabkan seseorang dapat dicela karenanya) (Ibid, halaman 95-96).

Putusan pengadilan yang memiliki dua unsur keadilan tersebut (prosedural dan substansial justice) dapat dikatakan sebagai putusan publik, meskipun perkara yang diadili menurut hukum termasuk kategori putusan privat (perdata).

Putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum yang tetap dapat menjadi sumber hukum dalam menyelesaikan peprkara yang sama dimasa mendatang (sumber hukum yurispridensi).

Putusan pengadilan mengenai perkara perdata (privat) dapat mempengaruhi publik, terutama mengenai citra hukum, penegakan hukum dan keadilan.

Setiap putusan pengadilan menjadi barometer hukum, penegakan hukum dan keadilan dalam suatu masyarakat dan negara (Ibid).

Secara ideal putusan pengadilan harus mewujudkan harapan pencari keadilan, yang mencerminkan nilai-nilai hukum dan rasa keadilan masyarakat, selain dari dua aspek diatas, ada beberapa unsur yang harus dipenuhi dengan baik.

Gustav Radbruch mengemukakan idealnya dalam suatu putusan memuat idee des recht, yang meliputi 4 unsur, yaitu keadilan (Gerechtigkeit), kepastian hukum (Rechtsicherheit) dan kemanfaatan (Zwechtmassigkeit) (Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum: Suatu Pengantar, halaman 15).

Ketiga unsur tersebut semestinya oleh Hakim harus dipertimbangkan dan diakomodir secara proporsional, sehingga pada gilirannya dapat dihasilkan putusan yang berkualitas dan memenuhi harapan para pencari keadilan.

Senada dengan hal tersebut,  Antonius Sujata dalam bukunya "Hati Nurani Hakim dan Putusannya: Suatu Pendekatan dari Perspektif Ilmu Hukum Perilaku (Bahavioral Jurisprudence) Kasus Hakim Bismar Siregar" Halaman 44 menyatakan bahwa hukum serta penegakan hukum dimana pun dan saat kapan pun memiliki cita-cita luhur, yaitu keadilan, kepastian, ketertiban, serta manfaat.

Keadilan pada hakikatnya memberi perlindungan atas hak dan saat yang sama mengarahkan kewajiban sehingga terjadi keseimbangan antara hak dan kewajiban di dalam masyarakat.

Dengan keadilan procedural baru memberi jaminan kepastian dan ketertiban, tetapi belum tentu memberi keadilan secara substansial.

Dalam kondisi normal, memang idealnya setiap hukum (Perundang-undangan) termasuk putusan hakim harus dijiwai oleh ketiga nilai dasar hukum (keadilan, kepastian, dan kemanfaatan).

Realitas menunjukkan bahwa sering kali terjadi pertentangan antara nilai yang satu dan yang lainnya, misalnya, antara keadilan dan kepastian hukum ataukah antara kemanfaatan dan kepastian hukum.

Gustav Radbruch menegaskan bahwa di dalam kenyataannya, ketiga unsur esensial hukum (keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum) sulit terwujud secara bersamaan, lebih sering konflik antara ketiganya. Biasanya konflik tersebut timbul karena dua hal. 

Pertama, hukum (Perundang-undangan) diciptakan untuk melindungi kepentingan politik (in the interest of politic) bagi kelompok atau golongan terentu.

Produk hukum seperti ini sejak semula, saat diundangkannya, cenderung mengabaikan realitas sosial. Konsekuensi logisnya Undang-Undang tersebut bertentangan dengan rasa keadilan dalam masyarakat. 

Kedua, peraturan Perundang-undangan yang tidak ada relevan (lagi) dengan dinamika yang berkembang dalam masyarakat.

Mungkin pada saat diundangkannya dan pada masa awal berlakunya sesuai dengan realitas dan rasa keadilan dalam masyarakat, tetapi lambat laun dirasakan tidak relevan lagi.

Konsekuensinya jika Perundang-undangan tersebut dipaksakan berlakunya, akan menimbulkan kegoncangan-kegoncangan dalam masyarakat. Dalam kontek ini, akan muncul konflik antara keadilan dan kepastian hukum. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar