Jumat, 19 Mei 2017

Analisis Putusan Pemidanaan Melebihi Tuntutan Jaksa Penuntut Umum dalam Perspektif Teori - Bagian 1

Indonesia telah menegaskan dirinya sebagai negara hukum. Sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945.

Putusan Melebihi Tuntutan Jaksa Penuntut Umum


Disebutkan sebagai negara hukum dalam arti diidealkan bahwa yang harus dijadikan panglima dalam dinamika kehidupan kenegaraan adalah hukum.

Karena hukum pada dasarnya sangat berkaitan dengan sistem hukum yang dianut oleh negara yang bersangkutan dan merupakan dasar utama berdirinya suatu negara.

Hukum merupakan sumber tertinggi (supremasi hukum) dalam mengatur dan menentukan mekanisme hubungan hukum antara negara dan masyarakat atau antar anggota masyarakat yang satu dengan yang lain.

Termasuk di dalamnya adalah putusan Hakim dalam memberikan keadilan harus didasarkan pada hukum karena Indonesia adalah negara hukum.

Analisis Putusan Pemidanaan Melebihi Tuntutan Jaksa Penuntut Umum dalam Perspektif Teori - Bagian 1

 Indonesia telah menegaskan dirinya sebagai negara hukum Analisis Putusan Pemidanaan Melebihi Tuntutan Jaksa Penuntut Umum dalam Perspektif Teori - Bagian 1

Pelaksanaan kekuasaan kehakiman yang berdasarkan atas hukum dan keadilan terkonstruksi dalam pondasi dari negara hukum.

Terdapat beberapa teori tentang negara hukum yang berkaitan dengan urgensi kekuasaan kehakiman, diantaranya adalah menurut Sri Soemantri, ciri-ciri negara berdasarkan atas hukum sekurang-kurangnya ada 4, yaitu :
  1. Adanya pengakuan terhadap jaminan hak asasi manusia (dan warga negara)
  2. Adanya pembagian kekuasaan
  3. Dalam melaksanakan kewajibannya pemerintah harus selalu berdasarkan hukum yang berlaku baik tertulis maupun tidak tertulis
  4. Adanya kekuasaan kehakiman yang dalam menjalankan tugas mereka artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah
Sementara itu menurut Padmo Wahjono, pokok-pokok negara hukum adalah menghormati dan melindungi hak-hak kemanusiaan, adanya suatu mekanisme kelembagaan negara yang demokrasi, adanya suatu sistem tertib hukum dan adanya kekuasaan kehakiman yang bebas. 

Demikian pentingnya sebuah pelaksanaan kekuasaan kehakiman yang merdeka atau independen ini sehingga dijadikan sebagai salah satu pilar negara hukum yang bergantung dan terpengaruh. 

Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 mengatur bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. 

Kekuasaan kehakiman (yudikatif) adalah independen dan diselenggarakan demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. 

Oleh karenanya Jimly Asshidiqie menyatakan bahwa tanpa peradilan yang bebas maka tidak ada negara hukum dan demokrasi. Demokrasi hanya ada apabila diimbangi oleh rule of law hanya ada apabila terdapat independence of judiciary.

Menurut Frank Cross, kemerdekaan kekuasaan kehakiman dan /atau kebebasan Hakim, bukanlah kemerdekaan atau kebebasan tanpa batas. Kemerdekaan kekuasaan kehakiman dan kebebasan Hakim diartikan sebagai kemerdekaan atau kebebasan proses yudisial yang meliputi :
  • Bebas dari tekanan, campur tangan dan rasa takut ketika memeriksa dan memutus perkara
  • Tidak ada yang dapat menolak melaksanakan putusan Hakim. Putusan Hakim adalah hukum yang wajib ditaati dan dilaksanakan.
  • Hakim tidak boleh diganggu gugat atau dituntut dengan alasan putusannya salah atau merugikan olrang lain.
  • Hakim tidak boleh dikenakan suatu tindakan (seperti penurunan pangkat, diberhentikan) karena putusannya.
Berkaitan dengan independensi peradilan ini tidak berarti harus dimaknai bahwa Hakim dapat memiliki kebebasan yang tanpa batas. 

Maruarar Siahaan menyatakan bahwa independensi harus dimaknai dalam batas-batas yang ditentukan oleh hukum dan dalam rangka menerapkan hukum secara adil, dengan mana juga independensi tersebut berjalan seiring dengan akuntabilitas yang diwujudkan dalam pengawasan. 

Bagir Manan menegaskan bahwa wujud dari kekuasaan lembaga peradilan yang merdeka adalah adanya kebebasan Hakim dalam memutus perkara. Hal ini bukan berarti Hakim boleh memutus perkara dengan sewenang-wenang, melainkan dengan batasan sebagai berikut :
  1. Memutus perkara berdasarkan hukum
  2. Untuk memberikan dan memenuhi rasa keadilan
  3. Dalam melakukan penafsiran, konstruksi, maupun penemuan hukum harus tetap berpegang teguh kepada asas-asas hukum umum (general principles of law)
  4. Harus ada mekanisme menindak Hakim yang memutus secara sewenang-wenang (terutama yang berkaitan dengan pelanggaran "code of conduct"
Berdasarkan uraian tentang batasan kebebasan Hakim dalam memutus perkara ini, terdapat hal yang menarik dan berkorelasi dengan pengkajian pemidanaan lebih tinggi dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum.

Yaitu bahwa Hakim dalam memutus perkara harus didasarkan atas hukum dan rasa keadilan serta bilamana melakukan penafsiran, konstruksi maupun penemuan hukum harus berpegang teguh kepada asas-asas hukum umum.

Dalam konteks ini dapat diambil benang merahnya bahwa Hakim dalam menjalankan tugas mengadili dengan menerima, memeriksa dan memutus perkara mentaati dan mengikuti asas-asas hukum acara pidana serta penafsiran hukum merupakan sebuah keniscayaan. 

Apalagi jika dihubungkan dengan Hak Asasi Manusia (HAM) dari pencari keadilan atau pihak-pihak yang diadili, tentu harus diadili sesuai dengan mekanisme yang diterapkan dalam hukum acara peradilan yang terkait. 

Oleh karenanya pelanggaran terhadap mekanisme beracara dikategorikan sebagai pelanggaran yang serius (code of conduct), kecuali jika terdapat hal atau masalah "ketidak-jelasan normatif" yang memerlukan penafsiran hukum oleh Hakim.

Pompe berpendapat bahwa untuk memberlakukan Undang-Undang pidana itu sebenarnya Hakim yang mempunyai suatu kebebasan yang besar, oleh karena pada akhirnya Hakimlah yang harus menilai apakah suatu perkara atau suatu kalimat yang terdapat didalam Undang-Undang itu sudah jelas atau belum. 

Apabila Hakim berpendapat bahwa suatu perkkataan atau suatu kelimat yang terdapat dalam Undang-Undang tidak jelas, maka ia mempunyai suatu kebebasan untuk berusaha mengetahui arti yang sebenarnya dari perkataan atau kalimat tersebut, baik sesuai dengan maksud pembentuk Undang-Undang maupun sesuai dengan maksud Undang-Undang itu sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar