Sabtu, 13 Mei 2017

Putusan Pemidanaan (Veroordeling) - Sistematika Putusan Pemidanaan dalam KUHAP

Pada dasarnya putusan pemidanaan dapat dijatuhkan apabila telah dipenuhinya syarat objektif dan subjektif yang terdapat dalam Pasal 183 KUHAP.

Syarat-syarat yang dimaksud menurut Adami Chazawi ialah sebagai berikut: 
  • Syarat objektif, yaitu Hakim dalam memutuskan telah menggunakan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah.
  • Syarat subjektif, yaitu dari dua alat bukti yang sah tersebut, Hakim mendapatkan keyakinan bahwa: 1). Benar telah terjadi tindak pidana (sesuai yang didakwakan); 2). Benar Terdakwa yang melakukannya; dan 3). Benar Terdakwa bersalah (dapat dipersalahkan).
Lebih lanjut Adami Chazawi menjelaskan bahwa putusan Hakim "mempidana Terdakwa" sesat bila melanggar syarat-syarat yang ditentukan tersebut. Banyak kemungkinan yang dilanggar pengadilan, sehingga menghasilkan putusan sesat. Penyebabnya dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu :

 Pada dasarnya putusan pemidanaan dapat dijatuhkan apabila telah dipenuhinya syarat objekt Putusan Pemidanaan (Veroordeling) - Sistematika Putusan Pemidanaan dalam KUHAP


Pertama, sebab fakta-fakta/ peristiwa yang dibuktikan dalam sidang bukan kebenaran materiil (materiele waarheid), melainkan kejadian yang direkayasa, kemudian menjadi bahan pertimbangan Hakim dalam menarik amar putusan yang merugikan Terdakwa.

Putusan Pemidanaan (Veroordeling)


Kedua, dalam sidang sebenarnya terungkap kebenaran materiil melalui dua atau lebih alat bukti yang dipergunakan Hakim, namun karena berbagai sebab sengaja atau kelalaian, pertimbangan hukumnya menyimpang dari kebenaran materiil dan menghasilkan amar putusan yang merugikan Terdakwa.

Bilamana Majelis Hakim Pengadilan berpendapat bahwa Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya maka Pengadilan menjatuhkan pidana. Hakim dalam menjatuhkan putusan pemidanaan dalam lingkup antara minimum dan maksimum dari pasal yang terbukti dalam persidangan (sebagaimana yang ditentukan oleh Pembuat Undang-undang). Mengenai masalah berat ringannya atau lamanya pidana ini merupakan wewenang judex facti yang tidak tunduk pada kasasi, kecuali apabila judex facti menjatuhkan pidana melampaui batas maksimum yang ditentukan Undang-undang.

Walaupun pembentuk Undang-undang memberikan kebebasan menemukan batas maksimal dan minimal lama pidana yang harus dijalani Terdakwa, hal ini bukan berarti Hakim dapat dengan seenaknya menjatuhkan pidana tanpa dasar pertimbangan yang lengkap. Penjatuhan pidana tersebut harus cukup dipertimbangkan dengan putusan Hakim yang kurang pertimbangan (onvoldoende gemotiveerd) dapat dibatalkan oleh Mahkamah Agung, sebagaimana Putusan Mahkamah Agung Nomor 202 K/ Pid/ 1990 tanggal 30 Januari 1993. Memang para Hakim perlu menjelaskan mengenai kenyataan-kenyataan dan keadaan-keadaan yang mana, yang telah dijadikan dasar bagi putusan mereka, tetapi di dalam putusan mereka tidak perlu dijelaskan secara lengkap mengenai cara berpikir mereka, yang telah membuat mereka sampai pada kesimpulan yang dijadikan dasar bagi putusan mereka.

Menurut Van Bemmelen, dalam putusan Hakim perlu dijelaskan mengenai alasan-alasan yang telah dipakai oleh Hakim sebelum sampai pada putusannya, sehingga orang yang membaca putusan tersebut akan dapat mengetahui alasan-alasan yang telah dipakai oleh Hakim dan mampu untuk menarik satu kesimpulan yang sama seperti yang telah diterik oleh Hakim.

Untuk meruntutkan argumentasi dan dasar pertimbangan Hakim yang baik maka disusunlah sistematika putusan yang baku di dalam KUHAP. Sistematika ini terdapat dalam isi putusan pemidanaan. Terhadap isi surat putusan pemidanaan, KUHAP telah mengaturnya secara rinci sebagaimana bunyi Pasal 197 ayat (1) yaitu: 

a. Kepala putusan dituliskan berbunyi: "DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA";
b. Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan terdakwa;
c. Dakwaan, sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan;
d. Pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta alat-pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa;
e. Tuntutan pidana, sebagaimana terdapat dalam surat tuntutan;
f. Pasal peraturan Perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau tindakan dan pasal peraturan Perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan, disertai keadaan yang memberatkan dan meringankan terdakwa;
g. Hari dan tanggal diadakannya musyawarah majelis hakim kecuali perkara diperiksa oleh hakim tunggal;
h. Pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhi semua unsur dalam rumusan tindak pidana disertai dengan kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan;
i. Ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan menyebutkan jumlahnya yang pasti dan ketentuan mengenai barang bukti;
j. Keterangan bahwa seluruh surat ternyata palsu atau keterangan dimana letaknya kepalsuan itu, jika terdapat surat otentik dianggap palsu;
k. Perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan;
l. Hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum, nama hakim yang memutuskan dan nama panitera;

Selanjutnya ditegaskan dalam Pasal 197 ayat (2) KUHAP, jika tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat (1) huruf a,b,c,d,e,f,h,i,j,k dan l dalam pasal ini (Pasal 197 ayat (1) KUHAP) mengakibatkan putusan batal demi hukum. Misalnya saja tidak tercantum tuntutan pidana sebagaimana terdapat dalam surat tuntutan Jaksa/ Penuntut Umum maka putusan pengadilan tersebut batal demi hukum. Menurut kebiasaan praktik hanya disebutkan pokok-pokoknya saja tuntutan pidana dalam putusan. Apabila suatu putusan pemidanaan tidak mencantumkan sama sekali "tuntutan pidana" maka berdasarkan ketentuan Pasal 197 ayat (2) KUHAP serta putusan Mahkamah Agung RI Nomor 885 K/ Pid/ 1985 tanggal 23 Juni 1987 adalah batal demi hukum. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar