Jumat, 19 Mei 2017

Putusan Pemidanaan Melebihi Tuntutan Jaksa Penuntut Umum dalam Perspektif Normatif

Secara normatif hukum acara pidana Indonesia (KUHAP) tidak mengatur secara tegas bahwa putusan pemidanaan harus sesuai ataupun di bawah dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum dan tidak diperbolehkan melebihi tuntutan tersebut (ultra petitum).

Putusan Melebihi Tuntutan Jaksa Penuntut Umum


Pada umumnya memang banyak ditemukan dalam praktek peradilan, Hakim memutus sesuai atau di bawah tuntutan Jaksa Penuntut Umum.

Namun dalam kasus tertentu dimana ditemukan dalam fakta persidangan terdapat hal-hal yang memberatkan sehingga Hakim memiliki keyakinan untuk menjatuhkan pidana lebih tinggi dari Tuntutan Jaksa Penuntut Umum. Dalam prakteknya, banyak kasus pidana yang putusannya melebihi tuntutan Jaksa Penuntut Umum.  

 Secara normatif hukum acara pidana Indonesia  Putusan Pemidanaan Melebihi Tuntutan Jaksa Penuntut Umum dalam Perspektif Normatif

Sebagaimana ketentuan Pasal 182 ayat (4) KUHAP bahwa musyawarah majelis Hakim didasarkan pada surat dakwaan dan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan persidangan.

Putusan Pemidanaan Melebihi Tuntutan Jaksa Penuntut Umum dalam Perspektif Normatif


Dengan tetap mengacu pada surat dakwaan, majelis bermusyawarah mempertimbangkan fakta-fakta yang terbukti di persidangan a quo dua alat bukti yang sah dan meyakinkan (Pasal 183 KUHAP) kemudian memutuskan pemidanaan yang sesuai dengan pertimbangan hukum Majelis baik yang meringankan maupun memberatkan terdakwa.

Jika diyakini terdapat hal yang cukup memberatkan dan dirasa perlu dijatuhkan pemidanaan yang lebih tinggi dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum, maka hal ini tidaklah melanggar Hukum Acara Pidana. Karena secara normatif tidak ada ketentuan dalam KUHAP yang melarang Hakim memutus melebihi tuntutan Jaksa Penuntut Umum.

Merupakan hak dari pada Hakim memutus sesuai fakta persidangan dan keyakinannya memberikan pemidanaan melebihi tuntutan Jaksa Penuntut Umum jika dirasa adil dan rasional.

Apalagi merupakan sebuah realitas bahwa tuntutan dari Jaksa Penuntut Umum tidaklah selalu sama atau sesuai dengan batasan maksimal ancaman pidana yang terdapat secara eksplisit dalam peraturan Perundang-undangan.

Hakim dapat memutus lebih tinggi dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum, namun tidak boleh melebihi batasan maksimum ancaman pidana yang ditentukan oleh Undang-Undang. 

Mengenai masalah berat ringannya atau lamanya pidana ini merupakan wewenang judex facti yang tidak tunduk pada Kasasi, kecuali apabila judex facti menjatuhkan pidana melampaui batas maksimum yang ditentukan Undang-Undang sebagaimana ditentukan dalam Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1953 K/ Pid/ 1988 tanggal 23 Januari 1993.

Selain itu juga tidak diperkenankan memberikan putusan pemidanaan yang jenis pidananya (strafsoort) tidak ada acuannya dalam KUHP.

Jenis pidana tersebut haruslah didasarkan atas Pasal 10 KUHAP yaitu pidana pokok (yang terdiri atas pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, dan pidana denda) dan pidana tambahan (yang terdiri dari pencabutan hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu dan pengumuman putusan Hakim), 

Dalam konteks ini berhubungan dengan asas legalitas (Pasal 1 ayat (1) KUHP) yang terkait dengan jenis pidana yang dapat dijatuhkan dalam putusan pemidanaan oleh Hakim.

Hakim memiliki kebebasan untuk menentukan dan memilih jenis pidana yang sesuai tercantum dalam Undang-Undang, hal ini merupakan conditio sine quanon dari penerapan sistem alternatif yang ada dalam KUHP. Hakim pun dapat leluasa dalam menentukan berat ringannya pidana (stafmaat) dari jenis pidana (sebagaimana diatur dalam KUHP) yang akan dijatuhkan sesuai batasan minimum umum dan maksimum umum yang ada, dalam konteks ini bergantung dari keyakinan dan filosofi serta tujuan pemidanaan yang hendak diterapkan oleh Hakim.

Selain dari kedua hal ini (batas ancaman maksimum pidana dan jenis pidana yang ditentukan dalam Undang-Undang) Hakim memiliki kebebasan dan kemandirian.

Sebagaimana tugas seorang Hakim yang tidak saja menegakkan hukum, melainkan juga sebagai penegak keadilan.

Maka dari itu pertimbangan hukum yang cukup dengan didasari sebuah keyakinan yang mantap akan sebuah keadilan substantif bagi Terdakwa dapat menjadi landasan konstitusional bagi Hakim menjatuhkan putusan pemidanaan lebih tinggi dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum.  

Apalagi secara konstitusionalisme kemerdekaan Hakim dalam memutus perkara dijamin oleh UUD 1945, sehingga penafsiran atas keadilan yang tepat dan sesuai dengan perkara yang ditanganinya adalah bagian otoritas dari Hakim.

Dalam konteks inilah tuntutan Jaksa Penuntut Umum bukanlah suatu hal yang pasti dan harus diikuti dengan pemidanaan yang sesuai seleranya, karena Hakim bukanlah lembaga stempel yang fungsinya mekanistik dan keberadaannya tidaklah berada dibawah Jaksa sehingga kemandirian Hakim dalam memutus pemidanaan tidak dapat diintervensi oleh tuntutan Jaksa Penuntut Umum.

Demikian penting kebebasan Hakim dalam memutus pemidanaan tersebut (mengacu dan sesuai atau tidak dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum) hingga terjaminkan dalam sebuah konstruksi negara hukum Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar