Minggu, 28 Mei 2017

Contoh Surat Permohonan Perwalian di Pengadilan Negeri bagi Awam

Pada artikel sebelumnya, saya sudah memberikan Contoh Surat Gugatan Perdata Perceraian di Pengadilan Negeri bagi Awam, yang menjelaskan syarat-syarat formil yang wajib ada dalam sebuah gugatan.
Contoh Surat Gugatan Perdata Perceraian di Pengadilan Negeri bagi Awam Contoh Surat Permohonan Perwalian di Pengadilan Negeri bagi Awam


Kali ini, saya akan memberikan contoh Surat Permohonan Perwalian di Pengadilan Negeri bagi awam.

Sebagaimana halnya gugatan, permohonan juga mempunyai beberapa syarat formil, yang didalamnya harus memenuhi :

  • Surat Permohonan, secara formil harus ditujukan dan dialamatkan kepada Pengadilan Negeri sesuai dengan kompetensi relatif. 

  • Kompetensi relatif adalah kewenangan pengadilan untuk memeriksa dan mengadili perkara atau permohonan berdasarkan wilayah perkara. 

  • Yakni kewenangan dari pengadilan sejenis yang mana yang berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang bersangkutan. 

  • Surat permohonan harus tegas dan jelas tertulis Pengadilan Negeri yang dituju sesuai dengan patokan kompetensi relatif tersebut. 

  • Apabila surat permohonan salah alamat atau tidak sesuai dengan kompetensi relatif, maka : 

  1. Mengakibatkan permohonan mengandung cacat formil, karena permohonan disampaikan dan dialamatkan kepada Pengadilan Negeri yang berada di luar wilayah hukum yang berwenang untuk memeriksa dan mengadilinya;
  2. Dengan demikian, permohonan dinyatakan tidak dapat diterima (niet onvankelijkeverklaard) atas alasan hakim tidak berwenang mengadili. 

Contoh Surat Permohonan Perwalian di Pengadilan Negeri


Untuk lebih jelasnya, berikut contoh surat permohonan Perwalian di Pengadilan Negeri :

Jakarta, 30 Mei 2017.

KEPADA YTH.
BAPAK KETUA PENGADILAN NEGERI
JAKARTA
DI –
           JAKARTA       

Dengan hormat,

            Yang bertanda tangan dibawah ini  : DARMA, umur 25 tahun, jenis kelamin Perempuan, Kebangsaan Indonesia, Agama Islam, Pekerjaan -, Tempat Tinggal di Jl. Pusaka Kec. Kab. untuk  selanjutnya disebut sebagai PEMOHON ;
Dengan ini mengajukan permohonan Perwalian untuk anak  yang belum dewasa, dengan alasan-alasan sebagai berikut :

  • Bahwa pada tanggal 13 April 2005 di Suatu Tempat Kotamadya Suatu Tempat telah dilahirkan seorang anak jenis kelamin laki-laki yang diberi nama : IRSAN, yaitu anak ke satu dari suami isteri : ASLI dan JULI ;
  • Bahwa kedua orang tua kandung IRSAN, tersebut telah meninggal dunia, yaitu  : Sdr. ASLI meninggal dunia di Desa Suatu Tempat tanggal 01 Juli 2016 sedangkan Sdri. JULI, meninggal dunia di Desa Suatu Tempat, tanggal 06 Maret 2010 ;
  • Bahwa oleh karena IRSAN belum cukup umur (belum dewasa), maka diperlukan seorang wali anak untuk anak yang masih dibawah umur ;
  • Bahwa untuk diangkat sebagai seorang wali anak tersebut diperlukan penetapan Pengadilan ;
  • Bahwa pemohon DARMA dengan almarhum JULI masih ada hubungan keluarga (saudara kandung) ;
Berdasarkan alasan-alasan tersebut diatas, pemohon mohon kepada Bapak Ketua Pengadilan Negeri Jakarta kiranya berkenan memeriksa permohonan pemohon dengan memanggil pemohon dipersidangan, setelah memeriksa bukti bukti yang pemohon ajukan berkenan pula memberikan penetapan yang marnya berbunyi sebagai berikut :

            Mengabulkan permohonan pemohon ;
           
Mengangkat Saudari : DARMA, sebagai wali dari anak yang belum dewasa bernama : IRSAN, jenis kelamin Laki-laki, lahir di Sempan, tanggal 13 April 2005 bertempat tinggal terakhir di Desa Suatu Tempat Kec. Suatu Tempat Kotamadya Suatu Tempat;
           
Membebankan biaya perkara ini kepada pemohon ;

            Demikianlah permohonan ini dibuat, atas perhatian Bapak diucapkan terima kasih.

Hormat Pemohon
  

DARMA

Demikianlah contoh surat permohonan perwalian di Pengadilan Negeri untuk awam, semoga bermanfaat. Terimakasih

Senin, 22 Mei 2017

MENYOAL PEMBLOKIRAN REKENING GURU DI KALTIM

Tenaga pendidik (guru) di Kaltim dibuat heboh dengan beredarnya screenshoot surat resmi dari Dinas Pendidikan (Disdik) Kaltim kepada Bank Kaltim yang berisi permohonan pemblokiran rekening 13 belas orang guru dari berbagai SMA/SMK yang berada di bawah naungan Disdik Kaltim.

Surat yang ditandatangani langsung oleh Kepala Dinas Pendidikan (Kadisdik) Kaltim tersebut tidak hanya mengguncang kalangan guru di Kaltim, tapi menuai sorotan publik secara luas. Dengan faktor kecepatan informasi sosial media, hal ini bisa jadi tidak terbatas disorot kalangan publik Kaltim saja, tapi juga telah menjadi sorotan publik nasional.

Terbitnya surat permohonan pemblokiran rekening 13 guru ini diduga kuat berkaitan dengan aksi demonstrasi yang berulang kali dilakukan oleh jaringan guru se-Kaltim menuntut penjelasan dan pencairan dana Tambahan Penghasilan Pegawai (TPP) yang tertunda sejak Januari 2017 hingga April 2017.

Puncaknya jaringan guru melakukan aksi lanjutan pada 22 Mei 2017 di depan Kantor Gubernur Kaltim, menagih janji batas akhir pencairan tanggal 19 Mei 2017 yang tak kunjung terealisasi sepenuhnya.

MENYOAL PEMBLOKIRAN REKENING GURU DI KALTIM


Pada aksi 22 Mei 2017 tersebut 13 perwakilan peserta aksi diterima oleh Kadisdik Kaltim dan pejabat lain dalam audiensi penjelasan terkait pencairan dana TPP yang dituntut para guru. Tidak lupa 13 perwakilan guru dalam forum audiensi tersebut diminta mengisi daftar hadir nama dan asal sekolah.

Singkat kronologi, sehari setelah aksi 22 Mei tersebut, beredar screenshoot surat permohonan pemblokiran rekening 13 nama guru yang hadir mewakili rekan-rekannya dalam pertemuan dengan Kadisdik Kaltim.

Surat yang sudah dipastikan valid tersebut ternyata dibuat dan diteken tanggal 22 Mei 2017 beberapa saat usai pertemuan dengan perwakilan guru yang berdemo. Atas kronologi tersebut, banyak pihak yang menduga surat permohonan pemblokiran rekening 13 guru kepada Bank Kaltim itu adalah bentuk "hukuman" dari Kadisdik Kaltim kepada mereka karena lantang menyuarakan komplain kepada pihak Disdik Kaltim.

Hal ini tentu terasa janggal. Adanya upaya pemblokiran rekening 13 guru yang menuntut pemenuhan hak mereka menimbulkan pertanyaan. Apa pelanggaran mendasar mereka hingga harus mendapat "sanksi" semacam itu?
Atas hal tersebut, Kadisdik Kaltim dituntut bisa memberikan penjelasan kepada publik terkait surat yang diterbitkannya. Mengingat hal itu menyangkut hajat hidup orang banyak yang menjadi hak mereka yang tertunda selama beberapa bulan terakhir.

Pada kesempatan ini penulis hendak menyampaikan pandangan terkait pemblokiran rekening nasabah bank dalam kacamata hukum.

Sebagaimana kita ketahui, pemblokiran berasal dari kata “blokir”. Artinya, “membekukan atau memberhentikan  sesuatu”. Sehingga pemblokiran  pada perbankan adalah suatu proses, cara, ataupun  perbuatan/tindakan  memblokir terhadap “rekening nasabah bank”.

Pemblokiran rekening bank dalam kacamata hukum adalah suatu tindakan hukum yang dilakukan oleh bank berdasarkan permintaan  tertulis dari para pihak berwenang sebagaimana diatur di dalam perundang-undangan yang berlaku.
Tujuannya untuk mencegah mutasi atau perpindahan uang  dalam rekening nasabah dan dapat dibuka kembali, baik oleh dan atas permintaan penyidik  maupun penegak hukum lain hingga adanya putusan hakim yang menyatakan bahwa dana di rekening nasabah tersebut tidak terkait dengan kasus hukum yang sedang ditangani.

REGULASI PEMBLOKIRAN REKENING
Menurut peraturan hukum yang berlaku di Indonesia, hanya ada beberapa pihak terbatas yang diberi kewenangan untuk meminta pemblokiran rekening nasabah, di antaranya yakni : Polisi, Jaksa, Hakim, KPK, Dirjen  Pajak, Bank Indonesia dan lainnya, baik dalam perkara pidana maupun perdata.

Kewenangan memblokir rekening nasabah diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan hanya untuk perkara-perkara tertentu seperti: perkara korupsi, money laundry, pelanggaran pajak, dan tindakan pidana keuangan lain, serta dugaan transaksi keuangan hasil cyber crime.

Di antara peraturan perundang-undangan tersebut terdapat pada UU No. 31/ 1999  tentang : “Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi” sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 tahun 2001 (pasal 29 ayat 4), menyatakan : "Penyidik, Penuntut Umum, atau Hakim dapat meminta bank untuk memblokir rekening simpanan milik tersangka atau terdakwa yang diduga  hasil dari korupsi”.

UU No. 8 tahun 2010 tentang : “Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang”  ( pasal 71 ayat 1 ), menyebutkan : “Penyidik, penuntut umum, atau hakim berwenang memerintahkan pihak pelapor untuk melakukan pemblokiran harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana, dari setiap orang yang telah dilaporkan oleh PPATK (Pusat Pelaporan Analisa Transaksi Keuangan) kepada penyidik,  tersangka/terdakwa."

UU  No. 19 Tahun 1997  tentang : “Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa” sebagaimana diubah dengan UU No. 19 Tahun 2000 (pasal 17 ayat 1 ), menyatakan   : “Penyitaan terhadap deposito berjangka, tabungan, saldo rekening koran, giro, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu dilaksanakan dengan pemblokiran terlebih dahulu.”

Sementara Peraturan Bank Indonesia No. 2/19/PBI/2000 tentang : “Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Perintah Atau Ijin Tertulis Membuka Rahasia Bank" pasal 12 ayat 1) mengatur  :
“Pemblokiran dan atau penyitaan simpanan atas nama seorang nasabah penyimpan yang telah dinyatakan sebagai tersangka atau terdakwa oleh polisi, jaksa, atau hakim, dapat dilakukan sesuai peraturan per-UU-an yang berlaku tanpa memerlukan ijin dari Pimpinan BI.”


DIMANA POSISI KADISDIK ?
Merujuk isi beberapa UU di atas, apakah Kadisdik termasuk dalam pihak yang berwenang mengajukan permohonan tertulis kepada pihak bank untuk melakukan pemblokiran kepada rekening nasabah tertentu?

Rasa-rasanya tidak perlu seorang ahli kelas wahid untuk bisa menyimpulkan bahwa Kadisdik Kaltim tidak punya wewenang untuk melakukan hal itu. Kadisdik Kaltim tidak memahami prosedur. Kadisdik Kaltim telah melanggar aturan.

Kadisdik Kaltim dan/atau pejabat lain yang lebih tinggi kedudukannya yang memerintahkan upaya pemblokiran tersebut (jika ternyata ada), perlu berkonsultasi lebih dalam lagi dengan Biro Hukum nya sebelum terlampau jauh mengambil tindakan ceroboh.

Langkah yang bisa dilakukan oleh Kadisdik menurut hukum adalah melaporkan ke pihak berwenang (Polisi, Jaksa, KPK) apabila mendapati bukti dugaan tindak pidana korupsi, money laundry, pelanggaran pajak, dan tindakan pidana keuangan lain, atau dugaan transaksi keuangan hasil cyber crime yang dilakukan oleh para guru tersebut.

Dalam proses penyidikan nanti bisa jadi pihak berwenang di atas menerbitkan surat permintaan pemblokiran rekening para guru terlapor. Prosedur ini tepat menurut hukum. Bukan malah main "teken" surat blokir secara sembarangan.

PEMBLOKIRAN REKENING NASABAH Dan SUBSTANSINYA
Terdapat tiga hal substansial yang perlu mendapatkan perhatian bank terkait pemblokiran rekening nasabah, yaitu  :

1. Bank dilarang melakukan pemblokiran atas rekening seseorang oleh dan atas permintaan seseorang/pihak  lain yang tidak sesuai dengan prosedur hukum. Semisal, karena ketiadaan  surat permintaan pemblokiran dari pihak berwenang (Polisi, Jaksa, Hakim, dan lain-lain yang ditetapkan oleh UU ).

2. Mewajibkan bank untuk  mengadministrasi dan memonitoring setiap pemblokiran nasabah secara tertib. Rekening-rekening pending nasabah mana yang sudah boleh dan/atau belum boleh dibuka blokirannya. Bagi yang sudah boleh, bank memintakan  pembukaan blokiran kepada pihak berwenang secara tertulis.

3. Permintaan memblokir dan/atau membuka blokiran hanya boleh dilakukan oleh seseorang/pihak tertentu  kepada bank hanya  untuk dan/atau terhadap rekening milik sendiri, bukan rekening orang lain. Kecuali secara kasuistis dan atas inisiatif bank, karena ditemukan aliran sejumlah uang ke rekening nasabah diduga merupakan hasil  kejahatan cyber (cyber crime).

Sehingga jika dikaitkan dengan kasus upaya pemblokiran rekening tiga belas guru di Kaltim oleh Kadisdik Kaltim kepada Bank Kaltim, maka pihak Bank Kaltim sebaiknya perlu bertindak lebih  bijak dengan tidak terburu-buru memenuhi permohonan Kadisdik tersebut. Melainkan memberikan tanggapan balik berupa penjelasan mekanisme atau prosedur hukum pemblokiran rekening nasabah bank. Karena patut diduga, surat permohonan pemblokiran rekening guru oleh Kadisdik Kaltim menyalahi aturan dan memiliki kecacatan hukum.

Jika pihak Bank Kaltim memenuhi permintaan Kadisdik tersebut tanpa merujuk pada aturan yang berlaku, pihak bank Kaltim bisa saja melanggar peraturan. Bila pemblokiran tersebut berakibat kerugian (finansial dan non finansial) bagi nasabah, hal itu bisa berakibat lebih fatal lagi.

Pihak Bank Kaltim, secara perdata dapat dituntut/digugat nasabah  telah melakukan perbuatan melawan hukum  sesuai pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum (KUH)  Perdata : “Tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”.

Pasal 1366 KUH Perdata menyatakan : “setiap orang bertanggung-jawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan karena kelalaiannya atau kurang hati-hatinya”.

Dalam kasus ini, frasa "setiap orang" bisa menjerat pihak "bank" sebagai subjek yang dimaksud melakukan perbuatan melanggar hukum atau perbuatan lalai yang mengakibatkan kerugian bagi nasabah.

Bisa saja Bank Kaltim yang karena kealpaan/kelalaian dan ketidakprofesionalannya menjadi dituntut/digugat  nasabahnya secara hukum (pidana maupun perdata). Seperti gugatan perdata, yakni berupa penggantian kerugian material (finansial) dan immaterial, dimana lazimnya dalam praktik penggantian kerugian dihitung atau disetarakan dengan uang (berikut denda bunga jika ada).

Mengingat rumusan ketentuan pasal 1365  KUH Perdata secara limitatif menganut asas hukum bahwa penggantian kerugian dalam hal terjadinya suatu perbuatan melawan hukum adalah bersifat wajib.

Bahkan dalam berbagai kasus hukum yang mengemuka di pengadilan, seringkali hakim secara ex-officio (karena jabatannya) menetapkan/mewajibkan penggantian kerugian oleh bank , sekalipun pihak nasabah (korban) tidak menuntutnya.
Kadisdik Kaltim Menyalahi Asas Administrasi Pemerintahan ?
UU Administrasi Pemerintahan No. 30 Tahun 2014 memuat tiga aspek pokok Asas-asas Administrasi Pemerintahan yakni: asas legalitas hukum, asas perlindungan HAM, dan asas umum pemerintahan yang baik (AUPB).

AUPB melingkupi 8 asas pokok yang harus diperhatikan oleh setiap penyelenggara administrasi di semua level pemerintahan. Kedelapan asas itu adalah: (1) Asas kepastian hukum, (2) Asas kemanfaatan, (3) Asas ketidakberpihakan, (4) Asas kecermatan, (5) Asas tidak menyalahgunakan kewenangan, (6) Asas keterbukaan, (7) Asas kepentingan umum, (8) Asas pelayanan yang baik.

Selain beberapa asas di atas terdapat pula asas-asas umum lainnya di luar AUPB yakni asas umum pemerintahan yang baik yang bersumber dari putusan hakim pengadilan yang masih berkekuatan hukum tetap.

Dalam kasus upaya pemblokiran rekening 13 guru ini, Kadisdik Kaltim patut diduga menyalahi AUPB dalam asas kepastian hukum, asas kecermatan, dan asas tidak menyalahgunakan kewenangan.

*Asas Kepastian Hukum* adalah asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan ketentuan  peraturan perundang-undangan, kepatutan, keajegan, dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggaraan pemerintahan.

*Asas Kecermatan* adalah asas yang mengandung arti bahwa suatu Keputusan dan/atau Tindakan harus didasarkan pada informasi dan dokumen yang lengkap untuk mendukung legalitas penetapan dan/atau pelaksanaan Keputusan dan/atau Tindakan sehingga Keputusan dan/atau Tindakan yang bersangkutan dipersiapkan dengan cermat sebelum Keputusan dan/atau Tindakan tersebut ditetapkan dan/atau dilakukan.

*Asas Tidak Menyalahgunakan Kewenangan* adalah asas yang mewajibkan setiap Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan  tidak menggunakan kewenangannya untuk kepentingan pribadi atau kepentingan yang lain dan tidak sesuai dengan tujuan pemberian kewenangan tersebut, tidak melampaui, tidak menyalahgunakan, dan/atau tidak mencampuradukkan kewenangan.

Penyalahgunaan kewenangan sangat erat kaitan dengan terdapatnya ketidaksahan (cacat hukum) dari suatu keputusan dan/atau tindakan pemerintah/penyelenggara negara.  Cacat hukum keputusan dan/atau tindakan pemerintah/penyelenggara negara pada umumnya menyangkut tiga unsur utama, yaitu unsur kewenangan, unsur prosedur dan unsur substansi.

Dengan demikian cacat hukum tindakan penyelenggara negara dapat diklasifikasikan dalam tiga macam, yakni: cacat wewenang, cacat prosedur dan cacat substansi. Ketiga hal tersebutlah yang menjadi hakekat timbulnya penyalahgunaan kewenangan.

Melihat upaya pemblokiran yang dilakukan oleh Kadisdik Kaltim, patut diduga Kadisdik telah menyalahgunakan kewenangan karena memenuhi unsur menyalahi kewenangan, menyalahi prosedur, dan menyalahi prinsip substansial.

Oleh karena itu, Gubernur Kaltim sebagai atasan dari Kadisdik Kaltim, sudah seharusnya segera mengevaluasi Kadisdik Kaltim terkait kebijakannya yang menyalahi aturan ini. Menurut penulis, Kadisdik Kaltim telah memberikan contoh yang buruk dalam penyelenggaraan administrasi pemerintahan bagi jajaran Pemprov Kaltim. Sehingga layak dan patut diberi sanksi oleh Gubernur, baik sanksi teguran lisan atau tertulis, hingga sanksi pencopotan dari jabatan. (*)

Sekian.
Oleh Surahman, SH
(Pegiat LSM Mata Publik Kaltim)

Sabtu, 20 Mei 2017

Analisis Putusan Pemidanaan Melebihi Tuntutan Jaksa Penuntut Umum dalam Perspektif Teori - Bagian 2

Lanjutan artikel sebelumnya yakni mengenai Analisis Putusan Pemidanaan Melebihi Tuntutan Jaksa Penuntut Umum dalam Perspektif bagian 1.
 Lanjutan artikel sebelumnya yakni mengenai  Analisis Putusan Pemidanaan Melebihi Tuntutan Jaksa Penuntut Umum dalam Perspektif Teori - Bagian 2

Putusan Melebihi Tuntutan Jaksa Penuntut Umum


Menurut P.A.F. Lamintang adalah menjadi kewajiban Hakim untuk menerapkan ketentuan-ketentuan pidana yang telah dirumuskan dalam Undang-Undang itu dengan setepat-tepatnya, dan untuk maksud tersebut, menjadi kewajiban mereka pula untuk menafsirkan ketentuan-ketentuan pidana dengan setepat-tepatnya.

Yakni tentang apa yang sebenarnya dimaksud dengan rumusan-rumusan mengenai ketentuan-ketentuan pidana tersebut.

Tujuan perbuatan menafsirkan Undang-Undang itu sendiri selalu untuk menentukan arti yang sebenarnya dari wilsbesluit atau dari putusan kehendak pembentuk Undang-Undang, yaitu seperti yang tertulis di dalam rumusan-rumusan dari ketentuan-ketentuan pidana di dalam Undang-Undang.

Analisis Putusan Pemidanaan Melebihi Tuntutan Jaksa Penuntut Umum dalam Perspektif Teori - Bagian 2


Terdapat beberapa cara atau metode penafsiran hukum, diantaranya :
  1. Menafsirkan Undang-Undang menurut arti perkataan (istilah) atau biasa disebut penafsiran gramatikal. Antara bahasa dengan hukum terdapat hubungan yang sangat erat sekali. Bahasa merupakan alat satu-satunya yang dipakai pembuat Undang-Undang untuk menyatakan kehendaknya. Karena itu, pembuat Undang-Undang yang menyatakan kehendaknya secara jelas harus memilih kata-kata yang tepat. Kata-kata itu harus singkat, jelas dan tidak bisa ditafsirkan secara berlainan. Adakalanya pembuat Undang-Undang tidak mampu memakai kata-kata yang tepat. Dalam hal ini Hakim wajib mencari arti kata yang dimaksud yang lazim dipakai dalam percakapan sehari-hari, dan Hakim dapat menggunakan kamus bahasa atau meminta penjelasan dari ahli bahasa.
  2. Menafsirkan Undang-Undang menurut sejarah atau penafsiran historis. Setiap ketentuan Perundang-undangan mempunyai sejarahnya. Dari sejarah peraturan Perundang-undangan  Hakim dapat mengetahui maksud pembuatnya. Terdapat dua macam penafsiran sejarah, yaitu penafsiran menurut sejarah dan sejarah penetapan sesuatu ketentuan Perundang-undangan.
  3. Menafsirkan Undang-Undang menurut sistem yang ada di dalam hukum atau biasa disebut dengan penafsiran sistematik. Perundang-undangan suatu negara merupakan satuan, artinya tidak sebuah pun dari peraturan tersebut dapat ditafsirkan seolah-olah ia berdiri sendiri. Pada penafsiran peraturan Perundang-undangan selalu harus diingat hubungannya dengan peraturan Perundang-undangan lainnya. Penafsiran sistematis tersebut dapat menyebabkan, kata-kata dalam Undang-Undang diberi pengertian yang lebih luas atau yang lebih sempit daripada pengertiannya dalam kaidah bahasa yang biasa. Hal yang pertama disebut penafsiran meluaskan dan yang kedua disebut penafsiran menyempitkan.
  4. Menafsirkan Undang-Undang menurut cara-cara tertentu sehingga Undang-Undang itu dapat dijalankan sesuai dengan keadaan sekarang yang ada dalam masyarakat, atau biasa disebut dengan penafsiran sosiologis atau penafsiran teleologis. Setiap penafsiran Undang-Undang yang dimulai dengan penafsiran gramatikal harus diakhiri dengan penafsiran sosiologis. Apabila tidak demikian, keputusan yang dibuat tidak sesuai dengan keadaan yang benar-benar hidup dalam masyarakat. Karena itu setiap peraturan hukum mempunyai suatu tujuan sosial, yaitu membawa kepastian hukum dalam pergaulan antara anggota masyarakat. Hakim wajib mencari tujuan sosial baru dari peraturan yang bersangkutan. Apabila Hakim mencarinya, masuklah ia ke dalam lapangan pelajaran sosiologi. Melalui penafsiran sosiologi, Hakim dapat menyelesaikan adanya perbedaan atau kesenjangan antara sifat positif dari hukum (rechtspositiviteit) dengan kenyataan hukum (rechtswerkelijkheid), sehingga penafsiran sosiologis atau teleologis menjadi sangat penting.
  5. Penafsiran otentik atau penafsiran resmi. Adakalanya pembuat Undang-Undang itu sendiri memberikan tafsiran tentang arti atau istilah yang digunakannya di dalam perundangan yang dibuatnya. Tafsiran ini dinamakan tafsir otentik atau tafsir resmi. Disini Hakim tidak diperkenankan melakukan penafsiran dengan cara lain selain dari apa yang telah ditentukan pengertiannya di dalam Undang-Undang itu sendiri. Terhadap perbedaan pendapat mengenai dapat dikelompokkannya penafsiran otentik ke dalam metode penafsiran hukum, oleh karena dinilai bahwa interpretasi otentik tidak pernah dibicarakan bersama-sama dengan metode-metode interpretasi lainnya oleh karena interpretasi otentik bukanlah metode penemuan hukum oleh Hakim, melainkan merupakan penafsiran oleh pembentuk Undang-Undang yang dimuat dalam Undang-Undang.
  6. Penafsiran interdisipliner. Penafsiran jenis ini biasa dilakukan dalam suatu analisis masalah yang menyangkut berbagai disiplin ilmu hukum. Di sini digunakan logika lebih dari satu cabang ilmu hukum. Misalnya adanya keterkaitan asas-asas hukum perdata dengan asas hukum publik.
  7. Penafsiran multidisipliner, berbeda dengan penafsiran interdisipliner yang masih berada dalam rumpun disiplin ilmu yang bersangkutan, dalam penafsiran mulitdisipliner, seorang Hakim harus juga mempelajari suatu atau beberapa disiplin ilmu lainnya di luar ilmu hukum. Dengan lain perkataan, di sini Hakim membutuhkan verifikasi dan bantuan dari lain-lain disiplin ilmu.
  8. Interpretasi komparatif adalah penafsiran dengan memperbandingkan hendak dicari kejelasan mengenai suatu ketentuan Undang-Undang. Pada interpretasi komparatif maka penafsiran peraturan itu dibenarkan dengan mencari titik temu pada penyelesaian yang dikemukakan di pelbagai negara. Terutama bagi hukum yang timbul dari perjanjian internasional ini penting. Di luar hukum internasional kegunaan metode ini terbatas.
  9. Interpretasi antisipatif atau futuristis adalah mencari pemecahannya dalam peraturan-peraturan yang belum mempunyai kekuatan berlaku, yaitu dalam Rancangan Undang-Undang (RUU). Dengan berpedoman pada suatu naskah RUU yang ada di tangannya, seorang Hakim melakukan penafsiran berdasarkan Undang-Undang yang belum mempunyai kekuatan hukum karena masih dalam tahap legislasi, belum diundangkan serta ada kemungkinan bahwa naskah RUU tersebut pasti akan segara diundangkan, sehingga ia melakukan antisipasi dengan melakukan penafsiran futuristik atau antisipatif tersebut.
Para yuris pidana dalam praktek tidak dapat menerapkan hukum pidana tanpa interpretasi. Muncul pertanyaan, apakah itu "sengaja", "sebab","daya paksa" (overmacht), "melawan hukum"? Bahkan secara khusus rumusan delik seperti "barang" yang dipertahankan dalam pembelaan terpaksa (noodweer) berdasarkan Pasal 49 KUHP? Apakah "barang" dalam delik pencurian (Pasal 362 KUHP) termasuk juga aliran listrik?

Selain itu dalam konteks penggunaan penafsiran oleh Hakim juga selalu terkandung visi putusan hukum pidana yang dibentuknya, misalnya terkait dengan pemidanaan terhadap Pelaku kejahatan. Apakah yang menjadi landasan dan tujuan pemidanaan yang dijatuhkan dan bagaimanakah akibatnya bagi kepentingan diri Pelaku, Korban, Masyarakat, Bangsa dan Negara pasca putusan itu dijatuhkan serta teori pemidanaan yang manakah yang akan di gunakan dan diyakini sesuai dengan perkembangan perubahan kesadaran hukum masyarakat.

Berdasarkan atas filosofi dan teori pemidanaan yang akan diacu dalam mempertimbangkan berat ringannya pemidanaan maka Hakim dapat memutuskan sesuai atau tidaknya dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum. Pada praktiknya Hakim bisa dan dimungkinkan untuk menerobos atau melebihi tuntutan maksimum yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum selama masih dalam koridor batas maksimum ancaman pidana pasal yang didakwakan. 

Terlebih lagi secara normatif tidak ada ketentuan Undang-Undang khususnya KUHAP yang mengharuskan Hakim menyesuaikan putusan pemidanaannya dnegan tuntutan Jaksa Penuntut Umum. Oleh karenanya Hakim memiliki kebebasan untuk mempidana melebihi tuntutan untuk memenuhi rasa keadilan dan nurani atau keyakinan yang dimilikinya terhadap tujuan atau filosofi pemidanaan yang dianutnya baik bagi kepentingan Pelaku, Korban, kepentingan masyarakat/ umum maupun bagi eksistensi negara hukum Indonesia.

Jumat, 19 Mei 2017

Analisa Ahli Digital Forensik Chat HRS-FH

Mengikuti perkembangan kasus chat WA HRS dengan FH, yang akhir-akhir ini genjar diberitakan, apalagi oleh media mainstream yang jelas-jelas berada dibalik kepentingan-kepentingan tertentu yang berusaha membuat opini dimasyarakat bahwa chat tersebut asli.

Analisa Ahli Digital Forensik "Chat HRS-FH"

 Mengikuti perkembangan kasus chat WA HRS dengan FH Analisa Ahli Digital Forensik Chat HRS-FH

Pakar IT dan pegiat perkembangan teknologi informasi mulai angkat bicara, menelanjangi dan membongkar semua kelicikan dan fitnah keji yang ditujukan kepada ulama-ulama panutan dan dicintai umat Islam Indonesia.

Aparat kepolisian dalam hal ini yang terkesan ngotot dan memaksakan kasus ini untuk terus berlanjut dan diangkat semakin memperlihatkan keberpihakannya terhadap para perusak tatanan toleransi yang telah terbangun selama ini. 

Memaksakan kasus ini yang dalam artian mengkriminalisasikan, menjadi semakin memperlihatkan "kebodohannya" karena menganggap masyarakat Indonesia masih masyarakat yang awam teknologi atau buta teknologi. Mereka lupa bahwa banyak jalan yang bisa ditempuh dalam menggali dan mencari suatu kebenaran.

Berikut  Analisa keren dari seorang ahli Digital Forensik yang memiliki sertifikat internasional dibidang digital forensik dan lainnnya, seperti dikutip dari Fanpage Muslimcyber.net 

ANALISA TELAT KASUS CHAT FZ
Oleh : Indra Brughman
---------------------------------------------------------------------------
Sebelum nanti ada yg bilang saya asbun/omdo/sok tau, saya tulis dulu profil saya.
---------------------------------------------------------------------------
#Jurusan S2 saya adalah Digital Forensik, dan saya memiliki sertifikasi internasional dibidang digital forensik dan lainnya.
Skip....
---------------------------------------------------------------------------
Fakta - fakta :
Berikut saya paparkan urutan kejadiannya:
--------------------------------------------------------------------------
2 Des 2016 : FZ ditahan.
29 Jan 2017 : Muncul web berisi chat FZ dan HRZ.
16 Mei 2017 : FZ naik status jd tersangka.
--------------------------------------------------------------------------
Undang-Undang yg bisa diangkat pada kasus ini :
-------------------------------------------------------------------------
Pidana, Undang-Undang No 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, yaitu "menyuruh seseorang untuk menjadi model" pasal 8,"Disuruh" Pasal 4 dan 6. 
UU ITE, Undang-undang no 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, yaitu terkait "Mendistribusikan, mentransmisikan, dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan. ", Pasal 27 ayat (1).

-------------------------------------------------------------------------
Aturan tentang penggunaan bukti digital :
-------------------------------------------------------------------------

#Syarat agar suatu alat dpt dijadikan alat bukti digital adalah alat2 bukti digital tersebut dapat memenuhi unsur keterpercayaan, yaitu pada bukti digital tersebut kondisinya ketika dihadirkan di persidangan harus sama persis ketika disita, tdk ada boleh ada yg berubah sedikitpun datanya.

#Misal Hp FZ ditahan pada 2 Des 2016 jam 16.00, maka jika ada satu saja perubahan terjadi pada HP tersebut diatas tanggal 2 des 2016 pukul 16.00, maka HP tersebut tdk bisa dijadikan alat bukti krn sudah terkena "data tampering"/pemodifikasian.

#Kondisi2 yang dapat merubah keaslian barang bukti ada banyak, sedikit contohnya :
1. Menyalakan sinyal/jaringan/wifi/bluetooth/infrared.
2. Jika disita dlm kondisi hidup, kemudian dimatikan dalam proses penyimpanan.
3. Jika disita dlm kondisi mati, kemudian dihidupkan dalam proses penyimpanan.

#Bukti2 digital adalah alat yg sangat fragile/rapuh/mudah termodifikasi, maka harus mengikuti prosedur khusus mulai dari pengangkutan alat bukti, penyimpanan, pengambilan alat bukti , peng ekstrakan alat bukti, pembuktian alat bukti dst.

#Jika perlakuan alat2 bukti dilakukan dgn cara umumnya petugas pd kasus pidana biasa maka alat bukti tersebut tidak sah digunakan pd persidangan.

-----------------------------------------------------------------------
Fakta-fakta tentang dunia IT :
-----------------------------------------------------------------------
#1. Sangat mudah bagi kami org2 IT utk membuat chat WA palsu, semudah mahasiswa kami mengerjakan perkalian 4 digit.

#2. Agak sulit utk membuat audio palsu dengan suara identik meskipun bisa tetapi diperlukan waktu.

#3. Relatif Mudah bagi kami utk mengecek apakah suatu foto asli/modifikasi.

#4. Chat WA antar seseorang, adalah ranah privat tdk bsa dikenakan hukum kecuali ada aduan, sama seperti kita ngobrol, jika ada yg merekam maka baru bisa masuk pasal penyadapan, jika disebarkan masuk UU ITE (bagi yg menyebarkan).

#5. Aplikasi Chat berbeda dengan SMS/TELPON. Sms dan Telpon menggunakan jasa provider (jalur voice) sedangkan Chat WA dll menggunakan jalur data(satu jalur dengan internet/email dll).

#6 Sms/telpon ada datanya di provider gampang utk dilacak, tp WA/BBM sulit

karena :
(a). Data disandikan sehingga tdk bisa disadap/dibaca di tengah jalan (pengalaman pribadi nyadap hp sendiri).
(b). Data centre berada di luar/US jadi indonesia sulit utk menyentuhnya.
(c). Jalur data isinya campur semua yg berbau internet jadi satu disini, jadi butuh tenaga yg besar utk memilah2 diantara jutaan pengguna internet di Indonesia, jika sudah ketemu target, susah jg memilah2 mana internet/chat dll. Seperti mencari jarum di laut. Jika sudah ketemu data WA nya pun, butuh usaha yg sangat amat amat amat berat(cenderung impossible) utk membuka paksa enkripsi WA nya.

#7, Utk meretas dari jauh dan membuka paksa enkripsi kuat selevel gmail, WA, BBM, perbankan maka butuh usaha ribuan tahun dengan komputer yang paling hebat saat ini. WA sendiri secara teori tdk bisa membaca percakapan usernya, apalagi hacker.

#8, Satu2nya cara memiliki screenshot chat WA adalah memegang HP nya/membuat fake nya.
-----------------------------------------------------------------------
Analisa-analisa :
-----------------------------------------------------------------------
#1, Pada Kasus ARL dan LM,CT digunakan UU ITE, yg menjadi tersangka dan dihukum adalah pembuat/penyebar yaitu ARL dan RD sedangkan LM,CT bebas karena secara logika ARL dan RD ada andil pada terbitnya barang tersebut sedangkan CT, LM tidak.
#2, Pada Kasus FZ, posisi FZ mirip posisi LM/CT, yaitu sebagai korban/bukan penyebar.
#3, Utk FZ, CT, LM lebih pas jika menggunakan perdata/ delik aduan , br bs diproses/dihukum stelah ada yg mengadu.
#4, Pada kasus FZ ini, yg mungkin bs dihukum adalah penyebar/pembuat yaitu : pembuat website/chat.
#5, Foto2 pribadi di HP adalah private tdk ada hukumnya, sama sperti anda tdk dihukum krn tdk memakai baju ketika mandi. karena ini masuk ranah pribadi. Baru ada hukum ketika disebarkan.
----------------------------------------------------------------------
Kesimpulan :
----------------------------------------------------------------------

#1, Melihat timeline kejadian, website muncul satu bulan setelah FZ dan HP tersangka ditahan, maka jika diberitakan anonymous lah yg membuat web/menyebarkan chat adalah impossible, karena posisi barang bukti msh dipegang "pihak berseragam".

#2, Ketika HP tersangka berada pada "pihak berseragam", maka HP tidak boleh dinyalakan jaringannya karena jika dinyalakan akan merusak keaslian barang bukti / berubah datanya / tidak layak dijadikan barang bukti lagi.
Jadi urutannya : HP disita dgn prosedur khusus - ditaruh di tempat khusus penghilang jaringan - dilakukan bitstream copy / memorinya dikopi / - selanjutnya yg diutak atik "pihak berseragam" adalah kopian sedangkan hp asli disterilkan sampai proses persidangan membutuhkannya.

#3, Berdasakan pd nomer 2, maka tdk mungkin anonymous melakukan hacking ke HP yg dalam kondisi mati jaringan dan sedang dibawa "pihak berseragam".

#4, Jika hacking oleh Anonymous dilakukan sbelum FZ ditahan, logikanya adalah Tdk mungkin anonymous melakukan hacking ke orang gk penting dan gk dikenal...siapa sih yg tau FZ sblm kasus ini naik? penting amat di hack? justru FZ dikenal org stelah kasus ini muncul. Jadi sangat tdk masuk akal anonymous melakukan hacking sblm FZ ditahan.
Jangankan anonymous luar negri, orang Indonesia sendiri aja gk kenal siapa FZ sblm kasus ini muncul.

#5, Asli tidaknya foto FZ tdk ada hubungan sama sekali dgn chat.

#6, Ketika website/chat muncul posisi barang bukti masih ada pada "pihak berseragam" dan seharusnya masih dalam kondisi mati , steril, tanpa jaringan.

Sebarkan, Kebenaran harus Menang.

Analisis Putusan Pemidanaan Melebihi Tuntutan Jaksa Penuntut Umum dalam Perspektif Teori - Bagian 1

Indonesia telah menegaskan dirinya sebagai negara hukum. Sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945.

Putusan Melebihi Tuntutan Jaksa Penuntut Umum


Disebutkan sebagai negara hukum dalam arti diidealkan bahwa yang harus dijadikan panglima dalam dinamika kehidupan kenegaraan adalah hukum.

Karena hukum pada dasarnya sangat berkaitan dengan sistem hukum yang dianut oleh negara yang bersangkutan dan merupakan dasar utama berdirinya suatu negara.

Hukum merupakan sumber tertinggi (supremasi hukum) dalam mengatur dan menentukan mekanisme hubungan hukum antara negara dan masyarakat atau antar anggota masyarakat yang satu dengan yang lain.

Termasuk di dalamnya adalah putusan Hakim dalam memberikan keadilan harus didasarkan pada hukum karena Indonesia adalah negara hukum.

Analisis Putusan Pemidanaan Melebihi Tuntutan Jaksa Penuntut Umum dalam Perspektif Teori - Bagian 1

 Indonesia telah menegaskan dirinya sebagai negara hukum Analisis Putusan Pemidanaan Melebihi Tuntutan Jaksa Penuntut Umum dalam Perspektif Teori - Bagian 1

Pelaksanaan kekuasaan kehakiman yang berdasarkan atas hukum dan keadilan terkonstruksi dalam pondasi dari negara hukum.

Terdapat beberapa teori tentang negara hukum yang berkaitan dengan urgensi kekuasaan kehakiman, diantaranya adalah menurut Sri Soemantri, ciri-ciri negara berdasarkan atas hukum sekurang-kurangnya ada 4, yaitu :
  1. Adanya pengakuan terhadap jaminan hak asasi manusia (dan warga negara)
  2. Adanya pembagian kekuasaan
  3. Dalam melaksanakan kewajibannya pemerintah harus selalu berdasarkan hukum yang berlaku baik tertulis maupun tidak tertulis
  4. Adanya kekuasaan kehakiman yang dalam menjalankan tugas mereka artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah
Sementara itu menurut Padmo Wahjono, pokok-pokok negara hukum adalah menghormati dan melindungi hak-hak kemanusiaan, adanya suatu mekanisme kelembagaan negara yang demokrasi, adanya suatu sistem tertib hukum dan adanya kekuasaan kehakiman yang bebas. 

Demikian pentingnya sebuah pelaksanaan kekuasaan kehakiman yang merdeka atau independen ini sehingga dijadikan sebagai salah satu pilar negara hukum yang bergantung dan terpengaruh. 

Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 mengatur bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. 

Kekuasaan kehakiman (yudikatif) adalah independen dan diselenggarakan demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. 

Oleh karenanya Jimly Asshidiqie menyatakan bahwa tanpa peradilan yang bebas maka tidak ada negara hukum dan demokrasi. Demokrasi hanya ada apabila diimbangi oleh rule of law hanya ada apabila terdapat independence of judiciary.

Menurut Frank Cross, kemerdekaan kekuasaan kehakiman dan /atau kebebasan Hakim, bukanlah kemerdekaan atau kebebasan tanpa batas. Kemerdekaan kekuasaan kehakiman dan kebebasan Hakim diartikan sebagai kemerdekaan atau kebebasan proses yudisial yang meliputi :
  • Bebas dari tekanan, campur tangan dan rasa takut ketika memeriksa dan memutus perkara
  • Tidak ada yang dapat menolak melaksanakan putusan Hakim. Putusan Hakim adalah hukum yang wajib ditaati dan dilaksanakan.
  • Hakim tidak boleh diganggu gugat atau dituntut dengan alasan putusannya salah atau merugikan olrang lain.
  • Hakim tidak boleh dikenakan suatu tindakan (seperti penurunan pangkat, diberhentikan) karena putusannya.
Berkaitan dengan independensi peradilan ini tidak berarti harus dimaknai bahwa Hakim dapat memiliki kebebasan yang tanpa batas. 

Maruarar Siahaan menyatakan bahwa independensi harus dimaknai dalam batas-batas yang ditentukan oleh hukum dan dalam rangka menerapkan hukum secara adil, dengan mana juga independensi tersebut berjalan seiring dengan akuntabilitas yang diwujudkan dalam pengawasan. 

Bagir Manan menegaskan bahwa wujud dari kekuasaan lembaga peradilan yang merdeka adalah adanya kebebasan Hakim dalam memutus perkara. Hal ini bukan berarti Hakim boleh memutus perkara dengan sewenang-wenang, melainkan dengan batasan sebagai berikut :
  1. Memutus perkara berdasarkan hukum
  2. Untuk memberikan dan memenuhi rasa keadilan
  3. Dalam melakukan penafsiran, konstruksi, maupun penemuan hukum harus tetap berpegang teguh kepada asas-asas hukum umum (general principles of law)
  4. Harus ada mekanisme menindak Hakim yang memutus secara sewenang-wenang (terutama yang berkaitan dengan pelanggaran "code of conduct"
Berdasarkan uraian tentang batasan kebebasan Hakim dalam memutus perkara ini, terdapat hal yang menarik dan berkorelasi dengan pengkajian pemidanaan lebih tinggi dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum.

Yaitu bahwa Hakim dalam memutus perkara harus didasarkan atas hukum dan rasa keadilan serta bilamana melakukan penafsiran, konstruksi maupun penemuan hukum harus berpegang teguh kepada asas-asas hukum umum.

Dalam konteks ini dapat diambil benang merahnya bahwa Hakim dalam menjalankan tugas mengadili dengan menerima, memeriksa dan memutus perkara mentaati dan mengikuti asas-asas hukum acara pidana serta penafsiran hukum merupakan sebuah keniscayaan. 

Apalagi jika dihubungkan dengan Hak Asasi Manusia (HAM) dari pencari keadilan atau pihak-pihak yang diadili, tentu harus diadili sesuai dengan mekanisme yang diterapkan dalam hukum acara peradilan yang terkait. 

Oleh karenanya pelanggaran terhadap mekanisme beracara dikategorikan sebagai pelanggaran yang serius (code of conduct), kecuali jika terdapat hal atau masalah "ketidak-jelasan normatif" yang memerlukan penafsiran hukum oleh Hakim.

Pompe berpendapat bahwa untuk memberlakukan Undang-Undang pidana itu sebenarnya Hakim yang mempunyai suatu kebebasan yang besar, oleh karena pada akhirnya Hakimlah yang harus menilai apakah suatu perkara atau suatu kalimat yang terdapat didalam Undang-Undang itu sudah jelas atau belum. 

Apabila Hakim berpendapat bahwa suatu perkkataan atau suatu kelimat yang terdapat dalam Undang-Undang tidak jelas, maka ia mempunyai suatu kebebasan untuk berusaha mengetahui arti yang sebenarnya dari perkataan atau kalimat tersebut, baik sesuai dengan maksud pembentuk Undang-Undang maupun sesuai dengan maksud Undang-Undang itu sendiri.

Putusan Pemidanaan Melebihi Tuntutan Jaksa Penuntut Umum dalam Perspektif Normatif

Secara normatif hukum acara pidana Indonesia (KUHAP) tidak mengatur secara tegas bahwa putusan pemidanaan harus sesuai ataupun di bawah dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum dan tidak diperbolehkan melebihi tuntutan tersebut (ultra petitum).

Putusan Melebihi Tuntutan Jaksa Penuntut Umum


Pada umumnya memang banyak ditemukan dalam praktek peradilan, Hakim memutus sesuai atau di bawah tuntutan Jaksa Penuntut Umum.

Namun dalam kasus tertentu dimana ditemukan dalam fakta persidangan terdapat hal-hal yang memberatkan sehingga Hakim memiliki keyakinan untuk menjatuhkan pidana lebih tinggi dari Tuntutan Jaksa Penuntut Umum. Dalam prakteknya, banyak kasus pidana yang putusannya melebihi tuntutan Jaksa Penuntut Umum.  

 Secara normatif hukum acara pidana Indonesia  Putusan Pemidanaan Melebihi Tuntutan Jaksa Penuntut Umum dalam Perspektif Normatif

Sebagaimana ketentuan Pasal 182 ayat (4) KUHAP bahwa musyawarah majelis Hakim didasarkan pada surat dakwaan dan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan persidangan.

Putusan Pemidanaan Melebihi Tuntutan Jaksa Penuntut Umum dalam Perspektif Normatif


Dengan tetap mengacu pada surat dakwaan, majelis bermusyawarah mempertimbangkan fakta-fakta yang terbukti di persidangan a quo dua alat bukti yang sah dan meyakinkan (Pasal 183 KUHAP) kemudian memutuskan pemidanaan yang sesuai dengan pertimbangan hukum Majelis baik yang meringankan maupun memberatkan terdakwa.

Jika diyakini terdapat hal yang cukup memberatkan dan dirasa perlu dijatuhkan pemidanaan yang lebih tinggi dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum, maka hal ini tidaklah melanggar Hukum Acara Pidana. Karena secara normatif tidak ada ketentuan dalam KUHAP yang melarang Hakim memutus melebihi tuntutan Jaksa Penuntut Umum.

Merupakan hak dari pada Hakim memutus sesuai fakta persidangan dan keyakinannya memberikan pemidanaan melebihi tuntutan Jaksa Penuntut Umum jika dirasa adil dan rasional.

Apalagi merupakan sebuah realitas bahwa tuntutan dari Jaksa Penuntut Umum tidaklah selalu sama atau sesuai dengan batasan maksimal ancaman pidana yang terdapat secara eksplisit dalam peraturan Perundang-undangan.

Hakim dapat memutus lebih tinggi dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum, namun tidak boleh melebihi batasan maksimum ancaman pidana yang ditentukan oleh Undang-Undang. 

Mengenai masalah berat ringannya atau lamanya pidana ini merupakan wewenang judex facti yang tidak tunduk pada Kasasi, kecuali apabila judex facti menjatuhkan pidana melampaui batas maksimum yang ditentukan Undang-Undang sebagaimana ditentukan dalam Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1953 K/ Pid/ 1988 tanggal 23 Januari 1993.

Selain itu juga tidak diperkenankan memberikan putusan pemidanaan yang jenis pidananya (strafsoort) tidak ada acuannya dalam KUHP.

Jenis pidana tersebut haruslah didasarkan atas Pasal 10 KUHAP yaitu pidana pokok (yang terdiri atas pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, dan pidana denda) dan pidana tambahan (yang terdiri dari pencabutan hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu dan pengumuman putusan Hakim), 

Dalam konteks ini berhubungan dengan asas legalitas (Pasal 1 ayat (1) KUHP) yang terkait dengan jenis pidana yang dapat dijatuhkan dalam putusan pemidanaan oleh Hakim.

Hakim memiliki kebebasan untuk menentukan dan memilih jenis pidana yang sesuai tercantum dalam Undang-Undang, hal ini merupakan conditio sine quanon dari penerapan sistem alternatif yang ada dalam KUHP. Hakim pun dapat leluasa dalam menentukan berat ringannya pidana (stafmaat) dari jenis pidana (sebagaimana diatur dalam KUHP) yang akan dijatuhkan sesuai batasan minimum umum dan maksimum umum yang ada, dalam konteks ini bergantung dari keyakinan dan filosofi serta tujuan pemidanaan yang hendak diterapkan oleh Hakim.

Selain dari kedua hal ini (batas ancaman maksimum pidana dan jenis pidana yang ditentukan dalam Undang-Undang) Hakim memiliki kebebasan dan kemandirian.

Sebagaimana tugas seorang Hakim yang tidak saja menegakkan hukum, melainkan juga sebagai penegak keadilan.

Maka dari itu pertimbangan hukum yang cukup dengan didasari sebuah keyakinan yang mantap akan sebuah keadilan substantif bagi Terdakwa dapat menjadi landasan konstitusional bagi Hakim menjatuhkan putusan pemidanaan lebih tinggi dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum.  

Apalagi secara konstitusionalisme kemerdekaan Hakim dalam memutus perkara dijamin oleh UUD 1945, sehingga penafsiran atas keadilan yang tepat dan sesuai dengan perkara yang ditanganinya adalah bagian otoritas dari Hakim.

Dalam konteks inilah tuntutan Jaksa Penuntut Umum bukanlah suatu hal yang pasti dan harus diikuti dengan pemidanaan yang sesuai seleranya, karena Hakim bukanlah lembaga stempel yang fungsinya mekanistik dan keberadaannya tidaklah berada dibawah Jaksa sehingga kemandirian Hakim dalam memutus pemidanaan tidak dapat diintervensi oleh tuntutan Jaksa Penuntut Umum.

Demikian penting kebebasan Hakim dalam memutus pemidanaan tersebut (mengacu dan sesuai atau tidak dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum) hingga terjaminkan dalam sebuah konstruksi negara hukum Indonesia.

Senin, 15 Mei 2017

Contoh Surat Permohonan Akta Kematian di Pengadilan Negeri bagi Awam

Masih tentang contoh surat gugatan dan permohonan, kali ini saya akan memberikan Contoh Purat Permohonan Akta Kematian.

Sebagaimana yang sudah pernah saya bahas diartikel Perbedaan Gugatan, Permohonan dan Perlawanan, dapat kita pahamai apa yang dimaksud dengan gugatan dan permohonan. Perbedaan prinsip adalah bahwa didalam gugatan ada konflik atau sengketa sedangkan didalam permohonan bersifat kepentingan sepihak, serta produk hukum yang dihasilkannya.

 Masih tentang contoh surat gugatan dan permohonan Contoh Surat Permohonan Akta Kematian di Pengadilan Negeri bagi Awam

Untuk syarat-syarat formil dalam membuat sebuah surat gugatan atau permohonan dapat dilihat di artikel Contoh Surat Gugatan Perdata Perceraian di Pengadilan Negeri bagi Awam.

Bagi yang ingin membuat permohonan Adopsi atau Pengangkatan Anak dapat dilihat di Contoh Surat Permohonan Adopsi Anak di Pengadilan Negeri bagi Awam.

Contoh Surat Permohonan Akta Kematian di Pengadilan Negeri


Berikut contoh surat Permohonan Akta Kematian di Pengadilan Negeri:

Akhirat, 18 Mei 2017
Perihal : Permohonan Akte Kematian.

KEPADA YTH.
BPK. KETUA PENGADILAN NEGERI
AKHIRAT
DI-
AKHIRAT

Yang bertanda tangan dibawah ini : SINAR MATAHARI terlahir PI Q, umur 56 tahun, jenis kelamin Perempuan Warganegara Indonesia, agama Budha, pekerjaan Ibu Rumah Tangga, bertempat tinggal di Lingkungan Kp. Pasir Desa Tanah  Kec. Balikpapan Kab. Akhirat, Untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon. Bersama ini mengajukan permohonan kepada Bapak Ketua Pengadilan Negeri Akhirat guna mendapatkan penetapan Hakim tentang bukti kematian untuk kakak pemohon dengan alasan- alasan sebagai berikut :
  • Bahwa orang tua pemohon bernama SINAR Alias SUN NYOK dan KU KUI MOI telah melangsungkan perkawinan secara sah;
  • Bahwa dalam perkawinannya tersebut telah dilahirkan beberapa orang anak diantaranya pemohon sendiri yang bernama : SINAR MATAHARI terlahir PI Q dan kakak pemohon yang bernama SINAR BULAN terlahir HOK A;
  • Bahwa kakak pemohon tersebut berjenis kelamin laki-laki, lahir pada tanggal 04 Mai 1956, berkewarganegaraan Indonesia, Agama Khonghucu;
  • Bahwa semasa hidup kakak pemohon tidak pernah melakukan perkawinan ;
  • Bahwa kakak pemohon yang bernama SINAR BULAN Alias HOK A telah meninggal dunia pada tanggal 09 Mei 2017 karena sakit;
  • Bahwa oleh karena kelalaian pemohon tentang kematian kakak pemohon tersebut hingga saat ini tidak pernah didaftarkan pada Kantor Catatan Sipil, sehingga almarhum SINAR BULAN Alias HOK A belum dibuatkan Akte Kematian ;
  • Bahwa pemohon dan keluarga pemohon sangat memerlukan bukti kematian atas nama almarhum SINAR BULAN Alias HOK A untuk berbagai keperluan yang diharuskan menunjukkan akte kematian tersebut ;
  • Bahwa semasa hidupnya kakak pemohon , adalah Warganegara Indonesia ;
  • Bahwa untuk mendapatkan bukti kematian tersebut karena terlambat melaporkan ke Kantor Catatan Sipil, maka terlebih dahulu harus ada Penetapan dari Hakim Pengadilan Negeri Akhirat ;

Berdasarkan alasan- alasan tersebut diatas, pemohon mohon kepada Bapak Ketua Pengadilan Negeri Akhirat kiranya berkenan memanggil pemohon dan saksi saksi guna didengar keterangannya dipersidangan yang selanjutnya dapat memberikan penetapan sebagai berikut :

Mengabulkan permohonan pemohon tersebut ;
  • Menetapkan bahwa di Tanah, Kabupaten Akhirat pada Tanggal 09 Mei 2017 telah meninggal dunia seorang laki-laki bernama : SINAR BULAN Alias HOK A karena sakit dan dikebumikan di Tanah;
  • Memerintahkan kepada Pegawai Kantor Catatan Sipil Kabupaten Akhirat di Akhirat untuk mencatat tentang kematian tersebut dalam Buku Register catatan Sipil yang berlaku bagi Warganegara Indonesia dan sekaligus dapat menerbikan akte kematian atas nama SINAR BULAN Alias HOK A tersebut;
  • Membebankan biaya perkara kepada Pemohon ;


Demikianlah permohonan ini dibuat atas perhatian Bapak diucapkan terima kasih.

HORMAT PEMOHON



SINAR MATAHARI Als PI Q

Pengertian dan Prinsip Dasar Kepailitan

Kepailitan adalah suatu penyitaan yang dilaksanakan oleh pengadilan dan mengeksekusi semua harta kekayaan debitor demi kepentingan para kreditor bersama.

Sedangkan menurut Victor M. Situmorang dan Hendri Sukarso : Kepailitan merupakan suatu penyitaan umum atas seluruh kekayaan debitor untuk kepentingan kreditor secara bersama-sama.

Pailit hanya mengenai kekayaan dan tidak mengenai pribadi dari orang yang dinyatakan pailit (debitor). Faillisement adalah suatu usaha bersama  untuk mendapatkan pembayaran bagi semua orang berpiutang secara adil.

Pengertian Kepailitan ditegaskan dalam UU No. 37 Tahun 2004 sebagai ”sita umum atas semua harta kekayaan debitor”. Sebelumnya dalam PERPU No. 1 Tahun 1998 jo UU No. 4 Tahun 1998, pengertian kepailitan berkaitan dengan syarat-syarat kepailitan dan tidak ada pengertian yang bersifat definisional.
 Kepailitan adalah suatu penyitaan yang dilaksanakan oleh pengadilan dan mengeksekusi semu Pengertian dan Prinsip Dasar Kepailitan

Pengertian dan Prinsip Dasar Kepailitan


Jadi kepailitan merupakan eksekusi massal yang ditetapkan dengan keputusan hakim, yang berlaku serta merta, dengan melakukan penyitaan umum atas semua harta orang yang dinyatakan pailit, baik yang ada pada waktu pernyataan pailit, maupun yang diperoleh selama kepailitan berlangsung, untuk kepentingan semua kreditor, yang dilakukan dengan pengawasan pihak yang berwenang, sehingga sesungguhnya kepailitan tertujuan untuk :
  • Mencegah penyitaan dan eksekusi yang dimintakan oleh kreditor secara perorangan.
  • Ditujukan hanya mengenai harta benda debitor, bukan pribadinya. Jadi debitor, tetap cakap untuk melakukan perbuatan hukum di luar hukum kekayaan.

Sebagai perbandingan dalam Australian Bankrupcy Law, tujuan kepailitan dinyatakan : When a person is unable to pay her or his debts and is in a hopeless financial position, the law should enable proceedings to be taken, either by the debtors  or by a creditor, so that most kinds of the debtor’s property can be taken and used to pay the creditors in proportion to the amounts owed to each of them.

Sesungguhnya lembaga kepailitan merupakan suatu sistem yang mengatur bagimanakah hukum harus bertindak manakala seorang debitor tidak dapat membayar hutang-hutangnya, dan bagaimanakah pertanggungjawaban debitor tersebut, dalam hubungannya dengan harta kekayaan yang masih atau akan dimilikinya.

Dilakukan penyitaan secara massal dimaksudkan untuk menghindari para kreditor bertindak sendiri-sendiri, agar semua kreditor memperoleh manfaat dari harta kekayaan debitor pailit, dengan cara dibagi menurut perimbangan hak tagihan atau tuntutan mereka masing-masing.

Lembaga kepailitan merupakan wujud dari pelaksanaan ketentuan pasal 1131 jo 1132 KUH Perdata. Dalam Pasal 1131 KUH Perdata ditentukan bahwa semua harta kekayaan debitor baik benda bergerak atau tidak bergerak, baik yang sekarang maupun yang akan diperolehnya menjadi tanggungan atas perikatan-perikatan pribadinya. Sedangkan Pasal 1132 KUH Perdata menentukan bahwa benda-benda dimaksud sebagai jaminan bagi para kreditor secara bersama-sama hasil penjualan benda-benda tersebut dibagi antara kreditor bersama-sama menurut perbandingan atau imbangan tagihan-tagihan mereka, kecuali diantara para kreditor tersebut terdapat alasan-alasan untuk diistimewakan (didahulukan) secara sah menurut hukum.

Putusan pernyataan pailit harus dilakukan oleh Pengadilan (Hakim) yang berwenang untuk menjatuhkan pernyataan pailit (sekarang hakim Pengadilan Niaga). Oleh karena itulah hukum kepailitan memiliki karakter sebagai hukum publik bukan hukum privat. Walaupun kepailitan berawal dari Pasal 1131 KUH Perdata, tidaklah berarti bahwa ketentuan hukum kepailitan memiliki sifat sebagai hukum privat. Sebab ketentuan Pasal 1131 KUH Perdata, sekalipun harus diakui merupakan ketentuan hukum perdata, sesuai doktrin karena merupakan bagian dari buku kedua Kitab Undang-Undang Hukum Perdata merupakan ketentuan yang bersifat memaksa (baca : publik) dan tidak dapat disimpangi, sekalipun atas kesepakatan para pihak.

Sisi hukum perdata formil dari lembaga kepailitan melahirkan hukum acara perdata yang mengatur proses penjatuhan pailit, dan inilah yang menegaskan karakter hukum publik dari hukum kepailitan. Sebab, hukum acara perdata merupakan bagian dari hukum public. Secara teoritis, oleh karena hukum kepailitan bersifat publik, maka dieperlukan suatu peraturan yang terinci bagi setiap langkah proses permohonan pernyataan pailit. Akibat dijatuhkan putusan pailit, maka demi hukum telah terjadi sita umum (massal) atas seluruh harta kekayaan debitor. Konsekuensinya, bahwa sita individu yang diletakkan sebelumnya atas harta kekayaan debito otomatis terangkat. Namun yang perlu dipahami dengan dijatuhkannya pailit, si pailit tidak memiliki wewenang lagi melakukan tindakan kepengurusan dan pemilikan atas harta kekayaannya. Tetapi kepailitan hanya menyangkut tentang kepengurusan harta kekayaannya dan bukan masalah kewenangan pribadinya. Artinya, si pailit tetap cakap untuk melakukan perbuatan hukum diluar hukum kekayaan. Kepailitan tidak menghilangkan sama sekali kewenangan si pailit untuk melakukan pengurusan dan pemilikan harta yang berhubungan dengan pribadinya sebagaimana disebutkan dalam Pasal 22 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan PKPU. Dan tindakan-tindakan yang membawa akibat-akibat hukum atas harta kekayaan si pailit, hanya dapat dilakukan oleh kurator yang ditunjuk hakim dalam putusan pailit.

Dalam Penjelasan Umum UU No. 37 Tahun 2004 disebutkan bahwa terdapat 3 (tiga) alasan lahirnya UU Kepailitan, yaitu:
  1. Untuk menghindari perebutan harta debitor apabila dalam waktu yang sama ada beberapa kreditor yang menagih piutangnya pada debitor;
  2. Untuk menghindari adanya kreditor pemegang hak jaminan kebendaan yang menuntut haknya dengan cara menjual barang debitor tanpa memperhatikan kepentingan debitor atau para kreditor lainnya;
  3. Untuk menghindari kecurangan yang dilakukan oleh salah seorang kreditor atau debitor sendiri. Misalnya, debitor berusaha memberi keuntungan kepada seorang atau beberapa prang kreditor tertentu sehingga kreditor lainnya dirugikan. Selain itu, debitor mungkin saja dapat melarikan semua harta kekayaannya dengan maksud untuk melepaskan tanggung jawabnya kepada para kreditor.

Hal penting yang perlu diperhatikan dalam masalah kepailitan adalah penggunaan istilah insolvency yang sering dipersamakan dan dipertukarkan pemakaiannya dengan bankrupcy. Sesungguhnya, penggunaan istilah tersebut perlu diluruskan. Kata insolvency dalam sistem hukum Common Law berbeda maknanya dengan kata insolvensi yang berasal dari istilah Belanda “insolventie” , yang digunakan dalam sistem hukum kepailitan Indonesia. Pada Common Law System insolvency artinya sama dengan bankrupcy, “namun istilah insolvency digunakan bagi badan hukum atau company, sedangkan bankruptcy digunakan khusus terhadap  individu”. ) Sedangkan, insolvency dalam pengertian hukum kepailitan Indonesia adalah mengandung makna keadaan berhenti membayar, yang terjadi setelah rapat verifikasi para kreditor setelah adanya putusan pernyataan pailit. Makna teknis insolvensi sesuai ordonansi kepailitan tahun 1905 sebenarnya adalah suatu periode setelah dijatuhkannya putusan kepailitan yang tidak diikuti dengan perdamaian (accord) diantara para kreditornya ataupun perdamaian telah ditolak dengan pasti.

Jadi dalam sistem hukum Anglosaxon atau Common Law, insolvensi itu terjadi sebelum dijatuhkan putusan pailit, sedangkan dalam sistem hukum Civil Law (Eropa Kontinental) insolvensi itu terjadi setelah kepailitan.

Bahwa kepailitan atau bankrupcy menurut hukum Inggris (Common Law System) senantiasa didahulukan dengan keadaan tidak mampu membayar (insolvent) dimana keadaan insolvent tersebut harus terlebih dahulu dinyatakan oleh pengadilan (judicial declaration) untuk dapat dimintakan pernyataan keadaan pailit (banckrupt) oleh pengadilan. 

Setelah debitor dinyatakan pailit oleh putusan hakim Pengadilan Niaga, maka debitor tidak dapat dan tidak boleh lagi mengurus harta kekayaannya, sehingga pengurusan harta kekayaannya tersebut dilakukan oleh kurator dan diawasi oleh Hakim Pengawas. Namun dalam sistem Hukum Kepailitan Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 10 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 selama proses pemeriksaan kepailitan berlangsung sebelum dijatuhkannya putusan pailit dapat diangkat kurator sementara.

Putusan Pemidanaan Melebihi Tuntutan Jaksa Penuntut Umum dalam Praktek

Pada umumnya putusan pemidanaan yang dijatuhkan oleh Hakim adalah mengacu tuntutan Jaksa Penuntut Umum.

Putusan Melebihi Tuntutan Jaksa Penuntut Umum


Sebagian besar adalah dibawah tuntutan tersebut dalam kisaran kurang lebih setengah atau dua pertiganya, namun dalam batas diatas batasan minimal ancaman pidana dalam Undang-Undang.

Meskipun demikian ada juga yang atas dasar keadilan substantif, Hakim memutuskan pemidanaan di bawah batas minimal khusus. Selain dari kedua hal tersebut, Hakim juga dalam kasus-kasus tertentu memutus pemidanaan lebih tinggi daripada tuntutan dari Jaksa Penuntut Umum. 
yang dijatuhkan oleh Hakim adalah mengacu tuntutan Jaksa Penuntut Umum Putusan Pemidanaan Melebihi Tuntutan Jaksa Penuntut Umum dalam Praktek

Putusan pemidanaan yang lebih tinggi dari tuntutan tersebut dapat berupa pidana penjara atau denda atau uang pengganti atau pun pidana pengganti (jika pidana yang ditentukan tidak dilaksanakan maka diberikan pemidanaan tertentu).

Putusan Pemidanaan Melebihi Tuntutan Jaksa Penuntut Umum dalam Praktek


Hal ini sesuai dengan pertimbangan hukum dari Hakim yang memeriksa dan mengadilinya berdasarkan keadilan substantif yang ingin ditegakkannya dalam kontruksi alasan pemberat dan ditambah dengan keyakinan serta filosofi pemidanaan yang dianut oleh Hakim yang bersangkutan. 

Beberapa praktik peradilan terkait putusan pemidanaan lebih tinggi dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum ini dapat dicontohkan dalam perkara-perkara berikut :

1. Putusan Nomor : 1537/ Pid.B/ 2016/ PN Jktutr
Terdakwa Ir. BASUKI TJAHAJA PURNAMA alias AHOK didakwa dengan surat dakwaan Penuntut Umum yang disusun secara alternatif yaitu sebagai berikut :
Pertama : Melanggar Pasal 156a huruf a Kitab Undang Undang Hukum Pidana.
Kedua : Melanggar Pasal 156 Â Kitab Undang Undang Hukum Pidana.

Adapun tuntutan pidana Penuntut Umum IREINE R KORENGKENG SE.SH.MH pada tanggal 20 April 2017adalah sebagai berikut :

Supaya Majelis Hakim Pengadilan Negeri JakartaUtara yang memeriksa dan mengadili perkara ini memutuskan :
  1. Menyatakan terdakwa Ir. BASUKI TJAHAJA PURNAMA alias AHOK terbukti bersalah melakukan tindak pidana di rnuka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu golongan rakyat Indonesia, sebagaimana diatur dalam Pasal 156 KUHP dalam dakwaan alternatif kedua.
  2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Ir. BASUKI TJAHAJA PURNAMA alias AHOK dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun dengan masa percobaan selama 2 (dua) tahun.
  3. Menyatakan : barang bukti nomor 1) sampai dengan nomor 11) dan nomor 13) tetap terlampir dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam berkas perkara. Barang bukti nomor 12) dan nomor 14) dikembalikan kepada penasihat hukum terdakwa.
  4. Menetapkan supaya terdakwa dibebani membayar biaya perkara sebesar Rp. 10.000,- (sepuluh  ribu rupiah).
Pengadilan Negeri Jakarta Utara dalam mempertimbangkan dakwaan alternatif tersebut telah memilih dakwaan pertama untuk dibuktikan dan terbukti dilanggar oleh Terdakwa sehingga Terdakwa di dijatuhi Pidana penjara selama 2 (dua) tahun, yang mana sebelum putusan dibacakan Majelis Hakim telah lebih dahulu membaca penetapan agar Terdakwa segara ditahan.

Pada perkara ini Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memberikan putusan pemidanaan lebih berat dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum, yang hanya menuntut 1 tahun penjara dengan masa percobaan 2 (dua) tahun.

Pada saat artikel ini dibuat, perkara Nomor : 1537/ Pid.B/ 2016/ PN Jktutr masih belum mempunyai kekuatan hukum tetap, karena masing-masing pihak baik Terdakwa ataupun Jaksa Penuntut Umum mengajukan Banding ke Pengadilan Tinggi Jakarta, yang sampai saat ini berkas perkara masih dalam tahap pemberitahuan untuk membaca berkas perkara (inzage) sebelum berkas perkara dikirim ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta.

yang dijatuhkan oleh Hakim adalah mengacu tuntutan Jaksa Penuntut Umum Putusan Pemidanaan Melebihi Tuntutan Jaksa Penuntut Umum dalam Praktek


2. Putusan Nomor 1616 K/ Pid. Sus/ 2013
Terdakwa APPS didakwa dengan surat dakwaan Penuntut Umum yang disusun secara alternatif yaitu sebagai berikut :
  • Kesatu melanggar Pasal 12 huruf a jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 64 ayat (1) KUHP; atau
  • Kedua melanggar pasal 5 ayat (2) jo Pasal 5 ayat (1) huruf a jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.
  • Ketiga melanggar Pasal 11 jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Adapun tuntutan pidana Penuntut Umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia, tanggal 20 Desember 2012 sebagai berikut :
  • Menyatakan Terdakwa APPS telah terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukumm bersalah melakukan tindak pidana Korupsi sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 12 huruf a jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 64 ayat (1) KUHP, sebagaimana dalam dakwaan Pertama;
  • Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa APPS berupa pidana penjara selama 12 (dua belas) tahun dikurangi selama Terdakwa berada dalam tahanan dengan perintah supaya Terdakwa tetap ditahan dan ditambah dengan perintah pidana denda sebesar Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) subsidair 6 (enam) bulan kurungan.
  • Menjatuhkan pidana tambahan membayar uang pengganti sejumlah Rp.12.580.000.000,00 (dua belas milyar lima ratus delapan puluh juta rupiah) dan US $.2,350,000.00 (dua juta tiga ratus lima puluh ribu Dolar Amerika Serikat) selambat-lambat satu bulan setelah putusan pengadilan memperolah kekuatan hukum tetap, dan apabila uang pengganti tersebut tidak dibayar maka dipidana dengan pidana  penjara selama 2 (dua) tahun penjara;
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta Pusat dalam mempertimbangkan dakwaan alternatif tersebut lebih memilih dakwaan Ketiga untuk dibuktikan dan terbukti dilanggar oleh Terdakwa sehingga Terdakwa dijatuhi Pidana penjara selama 4 (empat) tahun dan 6 bulan serta pidana denda sebesar Rp. 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) bila denda tidak dibayar akan diganti dengan pidana kurungan selama 6 (enam) bulan. Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta Pusat tersebut pada tingkat banding oleh Pengadilan Tinggi Jakarta dikuatkan. Terhadap putusan Pengadilan Tinggi Jakarta tersebut baik Terdakwa maupun Penuntut Umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi mengajukan upaya hukum Kasasi ke Mahkamah Agung. 

Mahkamah Agung dalam tingkat Kasasi, yakni putusan Nomor 1616K/ Pid.Sus/ 2013 tanggal 20 November 2013 telah menjatuhkan putusan yaitu : 
  • Menolak permohonan Kasasi Terdakwa dan mengabulkan permohonan kasasi Penuntut Umum pada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Republik Indonesia.
  • Menyatakan Terdakwa APPS telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana Korupsi secara berlanjut.
  • Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa dengan pidana penjara selama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda sebsar Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dengan ketentuan apabila pidana denda tersebut tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 8 (delapan) bulan dan dihukum pula untuk membayar uang pengganti sebesar Rp.12.580.000.000,00 (dua belas milyar lima ratus delapan puluh juta rupiah) dan US $.2,350,000.00 (dua juta tiga ratus lima puluh ribu Dolar Amerika Serikat) subsidair 5 (lima) tahun penjara.
Pada perkara ini Majelis Hakim Kasasi memberikan putusan pemidanaan yang sesuai dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum dalam hal pidana penjara, denda maupun pengenaan uang pengganti terhadap Terdakwa APPS, namun dalam hal pidana pengganti dari pidana denda dan uang penggantinya yang berbeda. 

Bilamana pidana dendanya tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan 8 (delapan) bulan (lebih 2 bulan kurungan dari pada yang dituntut oleh Jaksa Penuntut Umum). Selain itu juga terkait dengan pengenaan pidana pengganti jika tidak terbayarkan pidana uang pengganti maka dipidana 5 (lima) tahun penjara (lebih tinggi 3 tahun penjara sebagaimana dituntutkan oleh Jaksa Penuntut Umum). 

Putusan yang demikian didasarkan atas pertimbangan Mahkamah Agung sebagai berikut :
  1. Bahwa sesuai fakta hukum dan alat-alat bukti yang sah berupa keterangan saksi, surat dan petunjuk sebagai anggota DPR RI yang bertugas pada Komisi X selaku Anggota Badan Anggaran telah menerima uang dari Permai Grup sebesar Rp. 12.580.000,00 (dua belas juta lima ratus delapan puluh ribu rupiah) dan US $ 2,350,000.00 (dua juta tiga ratus lima puluh ribu Dolar Amerika Serikat) secara bertahap, berdasarkan bukti pengeluaran Kas Permai Grup sebagai imbalan (fee) kepada Terdakwa terkait upaya menggiring Anggaran Proyek Wisma Atlet Kemenpora dan Proyek-Proyek Universitas Negeri Kemendiknas;
  2. Bahwa meskipun disetujuinya anggaran dalam perkara a quo adalah wewenang Badan Anggaran DPR RI dan Pemerintah, namun sesuai fakta-fakta yang didukung alat-alat bukti yang sah perbuatan yang dilakukan Terdakwa selaku Anggota DPR RI/ Anggota Badan Anggaran merupakan salah satu bentuk modus operandi dalam melakukan tindak pidana korupsi yang telah diperiksa dan diputus oleh Pengadilan;
  3. Bahwa sesuai dengan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas putusan Pengadilan Tingkat Pertama yang memilih Dakwaan Alternatif untuk dibuktikan, oleh Pengadilan Tinggi dinilai tepat dan benar, oleh karena itu diambil alih dan dijadikan pertimbangan adalah tidak tepat dan keliru;
  4. Bahwa perbuatan Terdakwa bersifat aktif meminta imbalan (fee) kepada Mindo Rosalina Manulang sebesar 50% pada pembahasan Anggaran DPR RI dilakukan dan sisanya 50% setelah DIPA turun atau disetujui;
  5. Bahwa Terdakwa aktif memprakarsai pertemuan untuk memperkenalkan Mindo Rosalina Manulang kepada Harris Iskandar, Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kemendiknas;
  6. Bahwa Terdakwa ikut mengajukan usulan program kegiatan untuk sejumlah perguruan tinggi yang pada awalnya tidak diajukan oleh Dikjen DIKTI Kemendiknas namun kemudian diusulkan sebagai usulan dari Komsisi X;
  7. Bahwa Terdakwa beberapa kali memanggil Harris Iskandar dan Dadang Sudiyarto (Kabag Perencanaan dan Penganggaran Ditjen Dikti Kemendiknas) ke kantor DPR RI untuk membahas alokasi anggaran yang akan diusulkan ke Kemendiknas serta meminta Harris Iskandar dan Dadang Sudiyarto memprioritaskan pemberian alokasi anggaran terhadap beberapa perguruan tinggi;
  8. Bahwa Terdakwa secara aktif beberapa kali melakukan komunikasi telepon ataupun pesan Blackberry Messanger (BBM) dengan Mindo Rosalina Manulang tentang tindak lanjut perkembangan upaya penggiringan anggaran dan penyerahan imbalan uang (fee) dengan Mindo Rosalina Manulang;
  9. Bahwa Terdakwa secara aktif melakukan pertemuan baik di gedung DPR RI, di rumah Nebu Batik Spa & Salon, Plaza FX Senayan, di Grand Licky dan Apartemen Belezza;
Bahwa dalam perkara a quo ada perbedaan pendapat (disenting opinion) pembaca I (Prof. Dr. Mohammad Askin, SH), yang pada pokoknya sebagai berikut:
  1. Bahwa berdasarkan penilaian hasil pembuktian dan penghargaan atas kenyataan yang ada hanya menemukan uang yang diterima Terdakwa sebesar Rp.2.500.000.000,00 (dua milyar lima ratus juta rupiah) dan US$ 1,200,000.00 (satu juta dua ratus ribu Dolar Amerika Serikat);
  2. Bahwa tentang penjatuhan hukuman tambahan berupa pembayaran uang pengganti seperti dimohonkan oleh Penuntut Umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia tidak dapat dibenarkan oleh karena judex facti tidak salah mempertimbangkan hukuman yang dijatuhkan.
Demikian, dua contoh kasus putusan pemidanaan melebihi tuntutan Jaksa Penuntut Umum dalam praktik peradilan pidana di Indonesia. 

Eksistensi Tuntutan Jaksa Penuntut Umum dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia

Menurut Pasal 1 angka 7 KUHAP, penuntutan didefinisikan sebagai tindakan Penuntut Umum untuk melimpahkan perkara pidana ke Pengadilan Negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh Hakim di sidang Pengadilan.

Dalam kaitannya dengan tugas yang diemban oleh Jaksa Penuntut Umum, maka eksistensi surat tuntutan (requisitoir) merupakan bagian yang penting dalam proses hukum acara pidana. Surat tuntutan (requisitoir) dibuat secara tertulis dan dibacakan di persidangan sebagaimana dimaksud oleh Pasal 182 ayat (1) huruf c KUHAP.

 penuntutan didefinisikan sebagai tindakan Penuntut Umum untuk melimpahkan perkara pidana  Eksistensi Tuntutan Jaksa Penuntut Umum dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia

Sebelum mengajukan tuntutan Jaksa Penuntut Umum terlebih dahulu harus mengajukan rencana tuntutan kepada atasannya secara berjenjang, rencana tuntutan (rentut) telah mulai dikenal dan diberlakukan serta diterapkan oleh Kejaksaan sejak tahun 1985.

Yaitu berdasarkan Surat Edaran Jaksa Agung (SEJA) Nomor 09/ 1985, istilah resmi dari rentut berdasarkan Surat Edaran tersebut adalah Pedoman Tuntutan Pidana.

Eksistensi Tuntutan Jaksa Penuntut Umum dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia


Khusus untuk perkara tertentu  yang mendapat perhatian masyarakat, rentut harus dilaporkan kepada Kejaksaan Agung. Dalam prosesnya bisa jadi ada pengambilan alihan perkara, itu bagian dari tugas dan wewenang Jaksa Agung, bukan intervensi. 

Kejaksaan merupakan satu dan tidak terpisahkan, hal ini sudah ditegaskan dalam Pasal 35 Undang-Undang Nomor 16 tentang Kejaksaan Republik Indonesia secara eksplisit menyebutkan kewenangan Jaksa Agung yaitu "menetapkan dan mengandalikan kebijakan penegakan hukum dan keadilan dalam ruang lingkup dan wewenang Kejaksaan". Salah satu ruang lingkup tersebut adalah penuntutan.

Adapun tujuan penuntutan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil, yaitu kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menempatkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang didakwakan melakukan tindak pidana. Selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari Pengadilan guna menentukan apakah orang yang didakwa itu dapat dinyatakan salah, disamping huku acara pidana khususnya dalam penuntutan juga bertujuan untuk melindungi hak asasi tiap individu baik yang menjadi korban si pelanggar hukum.

Berdasarkan tugas yang diemban oleh Jaksa sebagai Penuntut Umum dalam proses peradilan pidana yang demikian, maka eksistensi surat tuntutan (requisitoir) merupakan bagian yang penting dalam proses hukum acara pidana. Surat tuntutan (requisitoir) yang mencantumkan tuntutan Jaksa Penuntut Umum terhadap Terdakwa, baik berupa penghukuman atau pembebasan dan disusun berdasarkan pemeriksaan saksi, ahli, alat bukti, dan keterangan Terdakwa akan menjadi bahan bagi Hakim dalam membuat putusan. 

Berbeda dengan surat dakwaan yang disampaikan diawal persidangan, belum ada ancaman pidananya dan disusun berdasarkan Berita Acara Polisi. Tuntutan Penuntut Umum menjadi dasar bagi Hakim untuk menjatuhkan putusan dan bilamana putusan Hakim tanpa adanya tuntutan Penuntut Umum berakibat putusan batal demi hukum.