Diberitakan, diomongin terus menerus setiap hari, seolah-olah hanya pada jaman pemerintah ini sajalah satu-satunya pemerintah yang membangun jalan tol.
Lihat juga: Memukul dengan Meminjam Tangan Lawan
Jalan Tol
Kalau mau dibilang demi pencitraan buat nyalon 2 priode, lha dulu SBY juga nyalon 2 priode, tapi nggak pernah menepuk dada, ngebanggain jalan tol sebagai prestasi besar.
Sebab, siapapun presidennya, sudah pasti akan terus menambah ruas jalan tol. Soal panjang dan pendeknya ya sesuai kebutuhan.
Sama dengan ketua RT di lingkungan kita.
Buat benerin jalan di lingkungan kita, Pak RT ngajak warganya nyumbang semen, nyumbang ini itu, nggak ada bantuan dari pemerintah.
Setelah jadi, nunggu jalanan kering ditutup untuk sementara barang satu sampai tiga hari.
Setelah itu siapa saja bebas dan gratis lewat jalan itu, mau warga RT setempat atau warga tamu dari seberang pulau pun bebas melenggang tanpa merasa tertekan karena nggak ikut nyumbang semen.
Juga nggak ada yang bilang itu jalanan milik Pak RT. Dari dulu ya begitu.
Baru sekarang lewat jalan tol harus pake syarat puja-puji pemerintah dulu. Mending kalau gratis.
Jalan tol yang dibangun sambung menyambung dari pemerintah yang satu ke pemerintah yang lain, diakui sebagai milik rezim yang berkuasa saat ini.
Klaim itulah yang dikritisi oleh sebagian besar masyarakat.
Bukan masyarakat anti jalan tol, tapi anti kesombongan rezim.
Tapi karena dari awal sudah sombong, seolah jalan tol cuma miliknya dan hanya milik kelompoknya, kritikan itu dianggap sebagai memusuhi jalan tol.
Maka keluarlah kesombongan baru, bagi yang menolak rezim ini untuk berkuasa satu priode lagi, jangan lewat jalan tol!
Padahal soal lewat jalan tol atau tidak itu kan pilihan.
Kalau mau cepat sampai tujuan, ya masuk jalan tol dengan resiko harus bayar mahal.
Jadi bukan soal mendukung atau tidak mendukung 2 priode.
Walaupun pendukung militan 2 priode, ya tetap saja masuk tol harus bayar mahal.
Lihat juga: Presiden Diatas Semua Golongan Lambang Jari
Walaupun setiap bangun tidur selalu teriak di depan jendela, “2 priode! 2 priode! “ tetap saja nggak boleh lewat jalan tol kalau cuma punya motor.
Melarang lawan politik lewat jalan tol, kan sama saja dengan kau berdagang di pinggir jalan, tapi kau hanya mau menjual barang pada pembeli yang sama pilihan politiknya.
Tanpa dilarang pun, sopir truk pengangkut barang mulai mengeluh dengan mahalnya tarip jalan tol.
Kalau nggak buru-buru amat, mereka lebih memilih lewat jalan non tol. Hitung-hitungannya sudah jelas.
Lagipula, kalau punya duit buat bayar tol pun, jika kau bertagar #2019gantipresiden, sepanjang jalan tol kau pasti akan merasa tertekan.
Suara larangan itu terus bergema sepanjang jalan tol, seolah sepanjang jalan tol kau ditertawakan oleh para pengusung 2 priode.
Jadi, jalan tol itu penting nggak penting.
Bagi keluarga yang mau pulang kampung, kalau nggak mau buru-buru amat, walaupun punya duit buat bayar tol, lebih memilih jalan non tol.
Pemandangan sepanjang jalan tol sangat membosankan!
Lewat jalan non tol bisa melihat pemandangan bermacam-macam. Bisa mampir di warung dengan pemandangan hamparan hijau yang menakjubkan.
Bisa jadi semacam studi tour keluarga.
Ngasih tahu ke anak-anak, ini namanya kota ini, itu namanya kota itu.
Bisa berhenti sejenak di pinggir sawah ladang, duduk di tepi ladang sambil buka perbekalan.
Lihat juga: Jangan Bercermin di Cermin Retak
Bisa beli oleh-oleh dengan lebih banyak pilihan dibanding yang dijual di area peristirahatan jalan tol.
Perjalanan jauh lebih mengesankan.
Itulah bedanya pemerintah yang membuat jalan tol hanya untuk kepentingan umum dengan pemerintah yang membangun jalan tol sekalian numpang tenar.
Catatan: Artikel ini diambil dari opini/ status Facebook babeh Balya Nur, 08 Februari 2019.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar